JOMBANG, KN – H. Muhammad Kaiyis, dari duta.co yang juga didapuk sebagai Nara Sumber memberi apresiasi terhadap kegiatan workshop Jurnalistik santri ini, menurutnya kegiatan seperti ini patut dikembangkan, agar tumbuh tunas-tunas muda ahli menulis dari kalangan santri, “Saya sangat mengapresiasi kegiatan ini, santri memang harus melatih diri dalam bidang tulis menulis, agar lahir para jurnalis muslim, “katanya.
Karena apa, lanjutnya, setiap hari para santri disuguhi tulisan alias membaca kitab kuning dan menghafal al-Qur’an, “Semua itu dalam bentuk tulisan, istilah Pak Kiai Ainul Yaqin, Al Qur’an itu sayyidul jurnaistik, dan belajar jurnalistik itu seperti orang berenang, awalnya bisa sedikit sedikit, tetapi kalau sudah mampu berenang semua bisa digerakkan,” katanya.
Disisi lain, ada keharusan tersendiri bagi santri agar belajar kegiatan tulis menulis, karena banyak kitab kitab yang memerlukan sosialisasi secara tulisan, ”Menurut para Kiai, ada 50 kitab kuning yang menceritakan tentang politik, dan ini belum banyak dipelajari oleh para santri. Oleh sebab itu, santri punya kuwajiban melakukan telaah terkait kitab – kitab tersebut, dan disusun sebagai laporan jurnalistik,” katanya lagi.
Dikatakan lagi bahwa, dirinya siap membatu apabila kegiatan workshop jurnalistik tersebut bisa dilaksanakan secara berkelanjutan, “Kami siap membantu jika para santri memang ingin menekuni dunia jurnalistik, menjadi jurnalis itu berat, makanya karya jurnalistik itu tidak dapat diadili atau dipolisikan, karena mulai awal pekerja junalistik itu harus benar,” katanya.
Jika ingin menjadi jurnalis handal tambahnya, duta.co siap mengawal keginginan itu, “Saya siap mengawal cita cita santri yang ingin menjadi jurnalis handal, karena kadang ilmu jurnalistik itu tidak ada dalam buku, satu contoh bagaimana jurnalis bisa mendapat informasi jika sumbernya saja tidak mau di wawancarai, harus ada cara khusus mengatasi hal itu. Barangkali pada pertemuan lanjutan nanti kita bisa bahas kisi-kisinya jurnalistik, sekarang barangkali kita diskusi terkait hal hal penting dalam ilmu jurnalistik. Sekali lagi menurut pendapat saya dalam ilmu jurnalistik paling banyak digunakan adalah ilmu terapan,” tambahnya.
Imam Fatoni, yang juga didapuk Naras Sumber menjelaskan bahwa, santri juga harus mempelajari ilmu jurnalistik, karena ini juga salah satu tuntutan zaman, “Belajar ilmu jurnalistik bagi santri sangat penting, tujuannya agar santri mampu menilai akurasi sebuah kabar berita, sehingga tidak tersesat jalan, atau dengan belajar jurnalistik santri mampu merawat dan mengembangkan faham serta visi misi Pondok Pesantren, seperti di Pondok Pesantren Hamalatul Qur’an ini banyak yang bisa kita jadikan berita, untuk memberi semangat belajar bagi santri yang lain, ” jelasnya.
Lebih dari itu, kata kandidat doktor asal Pare Kediri ini, ada pribahasa yang patut diingat, yakni gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, “Pribahasa ini patut kita ingat, Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, pertanyaannya kalau manusia yang mati meninggalkan apa?, ya harus meninggalkan tulisan atau karya yang bisa dibaca anak cucu kita nanti, makanya saya sangat mengapresiasi kegiatan Workshop jurnalistk ini, karena kegiatan ini dapat memotivasi menulis bagi kalangan santri,” katanya lagi.
Ia lalu menjelaskan, kiprah PP HQ selama ini, “Di PP HQ banyak cabang cabang, dan kerjasama kerjasama dengan berbagai pihak, ada 15 lembaga HQ bermunculan dimana-mana sudah barang tentu banyak kegiatan, jika santri HQ yang sudah punya bekal jurnalistik ini mau menulis, saya kira tidak akan berhenti berita mengenai perkembangan PPHQ dan pasti dibaca wali santri setiap hari, saya juga teringat pesan yang disampaikan Kiai Ainul Yaqin, bahwa beliau ingin HQ besar tanpa namanya artinya HQ besar karena tulisan, ”jelasnya.
Pada sesi pertama ini peserta banyak menanyakan terkait pembuatan berita, salah satunya adalah pertanyaan bagaimana jika bagian editing merubah isi berita dan bagaimana caranya agar bagian editing tidak merubah isi berita, dijawab pemateri memang tugas editing tidak boleh merubah isi berita, “Tugas editing itu memang bukan merubah naskah, dia hanya meng-ekonomis-kan penggunaan sebuah kata, contohnya kata bahwa, diganti dengan koma,” jelas Sutono kepada penanya.
Terkait adanya pengambilan sumber dari mendia lain, tambahnya, penulis berita harus bertanggungjawab dan menyebutkan sumber media yang diambil, “Jurnalis harus bertanggungjawab jika mengambil sumber dari media lain harus disebutkan, dan lagi tugas editing salah satunya adalah menilai sejauhmana naskah bisa menarik, karena dalam sebuah berita satu sumber, tidak boleh konfirmasi harus imbang, kedua belah pihak harus dikonfirmasi. Dan lagi kalau jurnalis mau maju memang selalu tidak puas dengan tulisannya,” kata Ketua PWI Jombang lagi. (BT)