JOMBANG | kabarnahdliyin.com — Praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan pendidikan negeri kembali mencuat. Dugaan pungli kali ini terjadi di salah satu sekolah agama negeri di Kabupaten Jombang, Jawa Timur, saat momentum Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran 2025.
Salah satu wali murid berinisial DO mengaku diminta membayar biaya seragam sebesar Rp705 ribu oleh pihak sekolah, melalui surat edaran resmi. Biaya tersebut mencakup empat stel seragam yang masih berupa kain, bukan pakaian jadi. Ironisnya, orang tua masih dibebani tambahan ongkos jahit.
“Saya kaget, tiba-tiba ada surat edaran pembelian kain seragam senilai Rp705 ribu. Harus keluar biaya lagi ke tukang jahit. Saya sangat keberatan,” ujar DO kepada media ini, Sabtu (21/6/2025).
Karena merasa terbebani, DO mencoba meminta keringanan dengan mencicil. Namun, respons pihak sekolah dan koperasi justru berujung debat soal transparansi anggaran seragam. Tak mendapat solusi, DO akhirnya melaporkan kasus ini langsung ke Kepala Kantor Kemenag Jombang, H. Muhajir.
“Alhamdulillah, setelah saya lapor ke Pak Muhajir, saya dibebaskan dari pembayaran seragam. Saya sangat berterima kasih,” ucap DO.
Menanggapi laporan tersebut, Kepala Kemenag Jombang H. Muhajir menegaskan bahwa pihaknya telah menginstruksikan seluruh kepala sekolah madrasah agar tidak membebani wali murid, khususnya yang tidak mampu.
“Prinsipnya, jangan sampai ada anak putus sekolah hanya karena tak mampu beli seragam. Kami sudah instruksikan sekolah agar bijak dan tak memaksakan pungutan,” tegas Muhajir saat dikonfirmasi, Sabtu malam (21/6/2025).
Menanggapi kasus ini, Ketua LSM Bangkit Jombang, Ratno Hadi, mendesak tindakan tegas terhadap segala bentuk pungli di sekolah negeri, baik umum maupun agama. Ia menyebut pungli tidak hanya terjadi dalam bentuk seragam, tapi juga pungutan untuk Lembar Kerja Siswa (LKS), iuran rutin, dan program-program lainnya.
“Kami memiliki data akurat dugaan pungli di sejumlah sekolah negeri di Jombang. Ada yang mencapai Rp1 juta bahkan lebih, berkedok kesepakatan orang tua dalam rapat,” ungkap Hadi.
Hadi menegaskan bahwa praktik semacam itu melanggar hukum. Ia merujuk Pasal 12 huruf b Permendikbud No. 75 Tahun 2016 dan PP No. 17 Tahun 2010, yang secara tegas melarang pungutan kepada siswa oleh sekolah maupun komite.
“Sudah jelas, sekolah dan komite tidak boleh memungut biaya dari siswa. Pemerintah telah menggelontorkan dana BOS. Praktik pungli harus dihentikan, dan oknum-oknumnya ditindak,” tegasnya.
Maraknya dugaan pungli di dunia pendidikan memunculkan pertanyaan besar: sejauh mana pengawasan dilakukan oleh pemangku kebijakan pendidikan daerah?
Transparansi dan akuntabilitas sekolah negeri patut dipertanyakan, terutama saat publik terus dibebani dengan pungutan terselubung yang justru menyulitkan akses pendidikan bagi kalangan tidak mampu.
Pendidikan adalah hak, bukan komoditas. Jika negara sudah membiayai melalui APBN dan APBD, maka tidak ada ruang bagi oknum pendidik atau institusi untuk menjadikannya ladang pungli. Jika terus dibiarkan, maka reformasi pendidikan hanya akan menjadi slogan kosong.
Kini, bola ada di tangan Kemenag, Dinas Pendidikan, dan aparat penegak hukum. Apakah berani menindak tegas atau hanya akan menjadi penonton dalam praktik pungli berjamaah di sektor pendidikan? (Tim/*).