JOMBANG, KN – Sesi kedua peserta mulai banyak melontar pertanyaan, Safi’i, Sekretaris PWI Jombang yang juga menjadi Nara Sumber, menyampaikan materinya terkait hukum dan etika jurnalistik, “Hukum dan Etika Jurnalistik adalah suatu tatanan peraturan yang mengatur dan mengawasi perilaku kerja jurnalistik. Pelanggaran terhadap hukum dan etika dapat berakibat pada munculnya sanksi, “tulis Safi’i dalam makalahnya.
Jika ada ulasan bahwa karya jurnalistik tidak dapat dipolisikan, menurut Safi’i memang benar, tetapi selama produk jurnalistik tersebut memenuhi kepatuhan pada hukum dan etika jurnalistik, “Yang penting produk atau karya jurnalistik tidak menabrak hukum dan etika. Akan tetapi jika kaidah hukum dan etika itu ditabrak maka karya jurnalistik tersebut dapat dikatakan melakukan pelanggaran, resikonya tentu ada sanksi secara pidana atau perdata, “katanya ketika mengawali penyampaian makalah.
Ia lalu menjelaskan sejauhmana sanksi diterima jika ada pelanggaran hukum dan etika, “Sanksi bisa berbentuk moral yang berupa sikap, penilaian dan pandangan yang diberikan oleh masyarakat terhadap kualitas profesi yang dimiliki oleh pekerja jurnalistik yang melanggar hukum dan etika itu, ada juga berupa sanksi administratif diberikan oleh institusi atau lembaga pers bersangkutan, “jelas lelaki yang mengaku hoby feature itu.
Tehnis dalam menghindari sanksi seorang jurnalis harus selalu check and recheck ketika mendapatkan informasi, “Informasi yang diperoleh harus dengan jujur, jurnalis juga tidak boleh malas meneliti kebenaran sebuah informasi, seorang jurnalis juga harus mampu membedakan antara peristiwa dan pendapat yang disampakan sumber informasi, dan juga menghargai dan melindungi kedudukan sumber informasi yang tidak mau disebutkan namanya, juga tidak memberitakan keterangan off the record, ketika mengutip suratkabar lain harus disebutkan, ini antara lain salah satu cara menghindari dari sanksi jurnalistik, “kata Safi’i dengan gaya santainya.
Dijelaskan, menurut UU Nomor 40/1999. Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, serta data grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
“Kegiatan pers dilakukan oleh perusahaan pers. Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi, untuk menjalankan kegiatan pers, perusahaan pers memiliki dan mempekerjakan wartawan yang bertugas mencari dan mengolah berbagai informasi, “jelasnya.
Beberapa peraturan yang harus diketahui oleh pekerja jurnalistik antara lain, UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, UU No 10 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Selain UU tersebut ada Peraturan Dewan Pers, PDP No.3 Tentang Standar Organisasi Perusahaan Pers. PDP No.5 Tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan,PDP No.6 Tentang Kode Etik Jurnalistik, PDP No.9 Tentang Pedoman Hak Jawab, PDP No.8 tentang Pedoman Penyebaran Media Cetak Khusus Dewasa dan Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers serta Piagam Palembang Tentang Kesepakatan Perusahaan Pers Nasional.
“Semua peraturan tersebut adalah untuk menjaga pekerja jurnalis agar berkerja sesaui rilnya, dengan menjujung tinggi hukum dan etika, sanksi paling sering kita jumpai adalah masalah etika, seorang jurnalis juga tidak luput dari pantuan masayarakat, sejauhmana produk-produk jurnalisnya itu bisa dipercaya, hati-hati kepercayaan masyarakat ini sangat mahal, sekali kita menyajikan berita tidak sesuai fakta, pembaca atau masyarakat akan menghukum kita pembohong,” kata Safi’i mewanti – wanti.
Pada sesi tanya jawab, peserta menanyakan tentang pengalaman manis, pahit sebagai jurnalis, apakah pengalaman itu dapat mempengaruhi atau memotivasi perubahan hidup jurnalis, “Semua pekerjaan tentu ada resikonya, apalagi menjadi jurnalis setiap hari menemui banyak sumber sudah barang tentu ada manis dan pahitnya, apakah hal itu mempengaruhi perubahan hidup jurnalis, jawabnya bisa iya dan bisa tidak, karena tugas jurnalis menggali informasi untuk dijadikan berita, akan tetapi kita tidak boleh munafik jika ada hal yang baik dari sumber informasi, tentu bisa kita contoh selama tidak mempengaruhi penyusunan informasi demi kepentingan masyarakat,” katanya.
Satu contoh lanjutnya, adannya informasi wabah covid 19, bagaimana cara mencegah atau menghindari wabah tersebut jurnalis harus menjelaskan sejelas-jelasnya, “Misalnya ada sumber yang memberi tahukan cara mencegah dan menghindar dari bahaya corona,kita wajib melaporkan secara detail kepada masyarakat, jurnalis sendiri juga bisa mempraktekkan agar terhindar dari wabah,corona sederhananya seperti itu, “jawab Safi’i.
Pertanyaan selanjutnya mengenai, plagiat atau copy paste, bagaimana karya jurnaslitik selamat dari plagiat atau copy paste, “Sesungguhnya plagiat atau penjiplakan atau copy paste itu tidak ada selama pelaku menyebutkan asal informasi yang didapat, selama kutipan yang diambil itu disebutkan dari mana asalnya tidak masalah, tetapi kalau tidak disebutkan dari mana asalnya itu yang tidak boleh dan itu bisa dikatakan melanggar kode etik jurnalistik, “jelasnya lagi.
Sebagai Jurnalis apakah harus terfokus pada tehnik wawancara dan melakukan observasi. Bagaimana jika sumber menolak untuk memberi keterangan padahal pengungkapan kasus tersebut sangat penting, satu contoh di Kantor kepolisian, “Sebaiknya dalam menjalankan tugas apapun harus fokus agar hasilnya sesuai standar, apalagi tugas jurnalistik, sudah barang tentu sebagai jurnalis harus menguasai ilmu atau tehnik wawancara dan jurnalis memang harus datang langsung ke lokasi kejadian, melihat mengamati mengumpulkan data, fakta dan informasi atas kejadian. Apalagi akan mengungkap sebuah kasus, seperti dikepolisian jurnalis juga harus paham prosedur agar bisa bekerjasama dengan pihak kepolisian, “jawab Safi’i lagi.
PP HQ pempunyai media Majalah Al Hamalah, apakah kami yang terlibat dalam Al Hamalah sudah bisa disebut wartawan? “Menurut UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (Pasal 1 ayat 4), wartawan adalah orang yang secara teratur melakukan kerja jurnalistik, menurut KBBI wartawan atau jurnalis adalah orang yang pekerjaannya mencari dan menyusun berita untuk dimuat dalam surat kabar, majalah, radio, serta media elektronik televisi juga media online, “katanya.
Apakah diperbolehkan menulis judul bombastis hingga memicu kontroversial dalam etika jurnalistik? “Munulis judul bombastis boleh baleh saja, asal memang sesuai fakta informasi yang ada, tidak dibuat buat atau dipengaruhi kepentingan lain, tetapi semua kembali kepada peraturan perundang – undangan dan kode etik, selain itu seorang jurnalis juga harus menganalisa sejauhmana manfaat dan dampak dari judul bombastis tersebut, “jawab Safi’i.
Bagaimana tehnik dalam melakukan wawacara supaya nara sumber tidak tersinggung? “Agar supaya nara sumber tidak tersinggung jurnalis harus menjelaskan apa tujuan dan maksud wawancara yang dilakukan dan melihat situasi yang tepat untuk malakukan wawancara, “jelasnya.
Bagaimana penulisan jurnalis dapat memenuhi standar kewartawanan? “Semuanya tentu ada teori dan ilmunya, makanya kita perlu belajar dan sering mengada workshop seperti ini, mungkin sederhanyanya produk jurnalis harus memenuhi lima w dan satu h, what, where, when, who, why dan how atau apa, dimana, kapan, siapa, mengapa dan bagaimana, “jawab Safi’i.
Bagaimana cara mengkomplin berita ketika ada tulisan atau pemberitaan yang kita rasa salah dan merugikan? salah satu cara dalam mengkomplin berita minta hak jawab dan melaporkan ke Dewan Pers jika memang dirasa perlu, Dewan Pers sebagai lembaga independent yang berfungsi untuk mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia, juga tidak jarang menyelesaikan perselisihan atau sengketa pers,”jelasnya. (BT)