KABAR NAHDLIYIN, KN – Kata intelejen sebenarnya tidak asing bagi warga NU ketika pada masa orde baru, karena tidak jarang warga NU selalu berhadapan dengan anggota intelejen, saking akrabnya kebanyakan warga NU menyebutnya mereka adalah intel. Kala itu anggota intel sering berkunjung pada warga NU baik tingkat ranting NU maupun MWCNU, ketika organisasi Kiai Hasyim Asy’ari ini menjelang ada sebuah kegiatan misalnya pengajian, mereka sering datang tanpa berseragam resmi sehingga sulit diketahui jika dia seorang anggota intel.
Jika menurut bahasa, kata intelejen berasal dari intelligence yang berarti informasi yang dihargai atau ketepatan waktu dan relevansinya, bukan detail dan keakuratannya. Akan tetapi yang dipentingkan oleh seorang anggota intel adalah informasi kapan sebuah peristiwa itu terjadi dan relevan dengan keadaan atau situasi nyambung dengan komandan intelnya. Sekali lagi kenangan kerja model intel ini tentu masih banyak melekat dibenak warga NU pernah mengalaminya.
Pada Kamis (9/6) lalu personil Kabar Nahdliyin diberi kesempatan sebagai salah satu mustami’in pada kegiatan bedah Buku “Perjalanan Intelejen Santri” Karya KH. As’ad Said Ali, diselenggarakan oleh InMind; Inisiatif Moderasi Indonesia (Moderation For All) yang berkantor di Jalan Jenderal Sudirman, Blok Kav 28, Mayapada Tower Lt 11, Jakarta Pusat. Acara digelar di Auditorium Unipdu Pondok Pesantren Tinggi Darul Ulum Rejoso Peterongan Jombang.
Bagaimana seorang santri bisa menjadi intelejen, sejauhmana ilmu yang bisa didapat dari sebuah perjalanan seorang Kiai yang bertugas sebagai intelejen untuk Bangsa dan Negara dan bermanfaat bagi kalangan santri masa depan. Berikut laporannya;
Menurut KH. As’ad Said Ali, ada yang istimewa di Nahdlatul Ulama itu, salah satunya adalah Kiainya mampu membentuk Kopassus (Komando Pasukan Khusus) yang benar benar militan, “NU yang militan bikin Kopassus lagunya juga ada, inilah sebabnya Jombang sangat berjasa bagi Indonesia, Islam, Demokrasi dan Maju dari Jombang, sehingga muncul pemikiran relegius – nasionalis, mau tidak mau ini yang terjadi di Negara kita,” kata Kiai As’ad.
Kiai yang pernah menjadi Wakil Ketua PBNU, kini sebagai Mutasyar ini lalu menjelaskan amalan yang selama ini dikerjakan, yakni, membaca surat Yasin, Surat Sajadah, Surat Waqiah, Surat Annaml dan Surat Al Kahfi, terkait ilmu Intelejen ia menceritakan bagaimana burung hud-hud memberi informasi A1 kepada Nabi Sulaiman.
“Dalam al Qur’an reaksi intelejen disimbulkan dengan burung hud-hud, info intelejen harus dapat mengetahui siapa teman siapa lawan, jangan sampai teman dianggap lawan sementara lawan diajak berteman, inilah pentingnya berita atau kabar yang benar,” kata alumni Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta pada peserta bedah Buku.
Mustasyar PBNU ini lalu menceritakan pada saat bertugas di Timur Tengah, sebagai intelejen di Timur Tengah dalam mengumpulkan informasi tidak cuman satu arah, tetapi didalami sampai berjakali – kali, sehingga mengetahui bagaimana kejadian yang sesungguhnya, “Informasi yang kita dapat masih perlu didalami kadang masih perlu didalami sampai tiga kali,” katanya lagi. Selain melakukan penggalian informasi, tidak jarang Kiai As’ad juga melakukan ziarah kubur, ke makam para ulama terkemuka di Timur Tengah.
Tekait tugas intelejen tambah, adalah mencari informasi yakni, informasi kemampuan dan kelemahan lawan, “Tugas intelejan itu mencari informasi kemampuan dan kelemahan lawan, seperti halnya sekarang soal radikal, siapakah radikal itu, orang yang anti Pancasila itu radikal, FPI tidak radikal inilah perlunya informasi, seperti jika mau membahas teroris, mau tidak mau diajaklah Nahdlatul Ulama,” tambahnya.
Sementara itu penggagas Bedah Buku, Yon Machmudi, Ph.D. Direktur Eksekutif InMind, mengatakan bahwa, seseorang berkembang berdasarkan terori Habitus atau lingkungan yang ada, “Biasanya linier dari lingkungan Pesantren, Musholla, Majelis Ta’lim linier menjadi Guru Ngaji, tetapi tidak bagi Kiai As’ad Said Ali, dia mampu melakukan lompatan budaya, dari lingkungan santri melompat ke lingkungan non santri,” kata Yon Machmudi.
Pada masa SMA, katanya lagi, “SMA masih nyantri di Pesantren Salafiyah, setelah masuk UGM melompat pada lingkungan non santri dan menjadi intelejen malah bukan santri lagi, artinya jiga dilihat dari perjalanan awal sudah tidak linier, makanya ketika santri masuk perguruan tinggi harus dipersiapkan betul, karena yang ia masuki lingkungan baru, apalagi masuk intelejen area berkompetisinya semakin luas,” katanya.
Dijelaskan, jika seseorang melakukan lompatan budaya tanpa melakukan persiapan sebelumnya bisa diperkirakan akan terjadi gegar otak, “Tetapi tidak bagi Kiai As’ad Said Ali, beliau mampu melakukan lompatan budaya cukup bagus, menjadi motivasi tersendiri bagi santri, bahwa ternyata santri juga bisa eksis dimana saja, tidak akan mengalami kecelakaan meskipun melakukan lompatan,” jelasnya.
Dalam kegiatan tersebut hadir juga Narasumber Prof. H. Kacung Marijan, Drs., MA., Ph.D (Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya) dan Dr. Muh. Ainur Rofiq Al Amin (Dosen Fakultas Ushuludin UIN Sunan Ampel Surabaya) sebagai moderator Agus Mahfudin, M. Si, dan sekitar 100 peserta bedah Buku yang hadir dalam kesempatan tersebut. (rani)