Berharap Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim Berkenan Khidmah sebagai Ketua Umum PBNU 2026–2031

Oleh: M Ikhsan Effendi

Ada saat ketika sejarah tidak lagi menunggu. Ia memilih orang-orang tertentu untuk mengisi ruang kosong yang semakin mendesak. Dan hari-hari ini, ruang itu terasa jelas di tubuh PBNU: ruang untuk lompatan. Bukan sekadar langkah.

Dengan anggota lebih dari 100 juta, NU adalah kekuatan sosial terbesar di Indonesia. Tetapi energi besar sering kali memerlukan dinamo yang tepat. Mesin penggerak yang sanggup mengubah potensi menjadi daya. Dan di percakapan politik tingkat tinggi, baik di kalangan kiai maupun profesional NU, satu nama makin sering disebut dengan nada serius: Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim.

Saya tidak sedang membesar-besarkan. Ini fakta politik tingkat elite NU.
Nama beliau naik bukan karena operasi tim sukses. Bukan karena manuver. Tapi karena rekam jejak, barang yang semakin langka, tapi semakin dicari.

Amanatul Ummah sudah menjadi bukti yang tak bisa dibantah. Pesantren dan madrasah itu bukan hanya melahirkan santri yang baik, tapi tangguh dan kompetitif. Ribuan alumninya tersebar di kampus top dunia. Dalam bahasa politik: beliau sudah memimpin “negara kecil” bernama pendidikan, dan sukses. Sangat sukses.

PERGUNU pun demikian. Dalam beberapa tahun, organisasinya meledak di seluruh Indonesia. Ini bukan hanya organisasi profesi. Ini adalah jaringan kader NU masa depan. Infrastruktur sosial yang jarang dimiliki ormas lain. Dan beliau membangunnya bukan dengan retorika tapi dengan kerja sistematis.

Bahkan dunia usaha pun beliau garap. Bukan sebagai pengusaha biasa, tapi sebagai perancang strategi. Jika NU ingin membangun kemandirian ekonomi, KH. Asep sudah lama punya peta jalannya.

Lalu politik?
Di sinilah beliau punya keunggulan yang tidak banyak orang tahu: beliau diterima oleh semua pihak. Dari para kiai sepuh hingga generasi muda. Dari pengusaha hingga birokrat. Dari elite istana sampai masyarakat bawah. Presiden Prabowo pun berkomunikasi dengannya dengan cara yang hangat bukan hubungan basa-basi, tapi hubungan yang saling menghargai.

Ini modal politik yang mahal. Dan modal itu tidak bisa diciptakan secara instan.

Oleh karena itu, ketika banyak kalangan NU mulai mempertimbangkan siapa yang pantas memimpin PBNU 2026–2031, nama KH. Asep muncul sebagai figur yang mampu memenuhi dua kebutuhan sekaligus:
mempercepat transformasi NU, sekaligus merawat keseimbangan politiknya.

NU hari ini tidak cukup hanya dijaga.
Ia harus dipacu.
Di sisi lain, NU tidak boleh memecah.
Ia harus disatukan.

Sosok yang bisa melakukan keduanya tidak banyak.
KH. Asep termasuk di antara segelintir itu.

Karena itulah, berbagai diskusi internal di NU mulai mengarah pada satu harapan:
“Semoga KH. Asep bersedia berkhidmah.”

Harapan itu muncul bukan karena ambisi, tetapi karena kebutuhan.
Nadhlatul Ulama sedang bersiap memasuki fase baru.
Era di mana kompetisi global menuntut ormas sebesar NU memiliki pemimpin yang berani, modern, komunikatif, dan berpikiran besar namun tetap tawadhu kepada para masyayikh.

Dalam politik, ada momentum yang tidak boleh lewat.
Momentum itu sedang datang.
Dan semoga Prof. Dr. KH. Asep Saifuddin Chalim berkenan menyambutnya
bukan untuk dirinya, tetapi untuk NU dan Indonesia Raya. (Hadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *