PBNU di Persimpangan Sejarah: Antara Badai Politik, Koreksi Moral, dan Tanggung Jawab Warga Nahdliyin.

Oleh : Ilham Alhamdi (BPL HMI Cab Purwokerto).

BANYUMAS | KabarNahdliyin.com – Dinamika yang terjadi dalam Rapat Harian Syuriyah PBNU pada 20 November 2025 adalah sebuah peristiwa yang mengguncang fondasi organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Risalah rapat yang ditandatangani Rais Aam KH Miftachul Akhyar, yang berisi permintaan kepada Ketua Umum PBNU untuk mengundurkan diri dalam waktu tiga hari, bukanlah keputusan biasa. Langkah ini menjadi sinyal jelas bahwa NU sedang mengalami krisis kepemimpinan, krisis arah, dan pada saat yang sama tengah menjalani proses koreksi moral yang sangat mendalam. Dalam tubuh organisasi sebesar PBNU, keputusan seperti ini tidak mungkin muncul tanpa adanya kegelisahan yang sudah menumpuk dan mencapai titik kritis.

Kontroversi paling mencolok adalah kehadiran narasumber yang dikaitkan dengan jaringan Zionisme Internasional dalam agenda kaderisasi elit AKN NU. Di tengah situasi global yang sedang mengecam keras agresi Israel di Palestina, langkah mengundang figur yang sensitif secara geopolitik tersebut tidak hanya dianggap keputusan yang tergesa-gesa, tetapi juga mencederai hati mayoritas warga Nahdliyin. NU selama lebih dari satu abad dikenal teguh dalam pembelaannya terhadap keadilan, kemanusiaan, dan kepedulian terhadap penderitaan umat, khususnya saudara-saudara di Palestina. Karena itu, keputusan tersebut dianggap melampaui batas kewajaran dan tidak mencerminkan kehati-hatian epistemik maupun moral yang selama ini menjadi ciri khas Nahdlatul Ulama.

Persoalan lain yang membuka gelombang besar adalah sorotan Syuriyah terhadap tata kelola keuangan di PBNU. Ketika Syuriyah menyebut adanya indikasi pelanggaran syariah maupun aturan perundang-undangan dalam pengelolaan keuangan, itu berarti persoalan ini bukan hanya soal teknis administrasi. Ini adalah peringatan keras bahwa ada potensi ancaman terhadap eksistensi badan hukum perkumpulan. Dan dalam tubuh NU, Syuriyah adalah benteng moral sekaligus penafsir utama garis nilai. Ketika benteng itu bersuara, seluruh struktur harus berhenti dan melakukan evaluasi. Inilah mengapa Syuriyah mengambil langkah ekstrem dengan memberikan ultimatum kepada Ketua Umum: mundur secara terhormat atau diberhentikan demi menjaga marwah dan integritas organisasi.

Banyak yang membaca langkah Syuriyah ini sebagai indikasi bahwa hubungan antara Syuriyah dan Tanfidziyah tidak lagi berjalan harmonis. Retakan yang selama ini hanya beredar sebagai bisik-bisik kini mencuat ke permukaan dalam bentuk keputusan resmi. Beberapa tahun terakhir memang ada kesan bahwa PBNU bergerak terlalu cepat, terlalu terbuka, dan terlalu berani melakukan manuver di tingkat nasional maupun global, hingga menimbulkan kekhawatiran bahwa NU sedang terseret ke dalam pusaran geopolitik yang tidak sejalan dengan tradisinya. Karena itu, keputusan Syuriyah dapat dipahami sebagai rem darurat yang ditarik untuk mencegah laju PBNU keluar dari jalur nilai yang sudah diwariskan para ulama pendiri.

Dinamika ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks suksesi kepemimpinan PBNU. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap memasuki periode menjelang Muktamar, ketegangan politik internal meningkat. Langkah Syuriyah tidak hanya terbaca sebagai koreksi nilai, tetapi juga sebagai penegasan bahwa NU tidak boleh dikuasai oleh satu kelompok yang dianggap terlalu pragmatis atau terlalu dekat dengan kekuatan politik tertentu. Dalam konteks ini, keputusan Syuriyah membuka ruang bagi lahirnya keseimbangan baru dalam kepemimpinan, serta menciptakan peluang bagi figur-figur lain yang dinilai lebih menjaga tradisi kehati-hatian politik serta kesetiaan terhadap manhaj Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyah.

Namun di tengah semua gejolak ini, masyarakat terutama warga Nahdliyin perlu memandang peristiwa ini dengan kesadaran, ketenangan, dan kedewasaan. Warga NU harus memahami bahwa konflik internal bukanlah tanda kehancuran, melainkan bagian dari dinamika organisasi besar yang terus bergerak. Dalam sejarah panjang NU, berbagai perbedaan pendapat sering muncul, tetapi selalu diselesaikan dengan akhlak jamaah, tabayyun, musyawarah, dan ketaatan terhadap keputusan struktural. Di sinilah pentingnya edukasi: warga Nahdliyin harus menjaga diri dari provokasi, tidak mudah terjebak pada narasi yang menyesatkan, dan tetap memegang prinsip bahwa Syuriyah adalah pemandu moral yang harus dihormati. Sikap kritis boleh, tetapi akhlak organisasi harus tetap dijunjung tinggi.

Krisis ini pada akhirnya memberi pelajaran bahwa NU bukan hanya organisasi massa, tetapi rumah nilai. Arah PBNU tidak boleh ditentukan oleh kepentingan sempit, jejaring global yang tidak jelas, atau ambisi individu. NU harus selalu kembali pada prinsip-prinsip ushuliyah, tawadhu’, wasathiyah, dan kehati-hatian geopolitik. Dan bagi masyarakat luas, momen ini adalah kesempatan untuk memahami bahwa menjaga NU berarti menjaga stabilitas moral bangsa. Karena itu, apa pun yang terjadi dalam beberapa hari ke depan apakah Ketua Umum memilih mundur atau melawan keputusan Syuriyah peristiwa ini akan menjadi tonggak sejarah penting bagi perjalanan NU dan masa depan politik keagamaan Indonesia. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *