Oleh: H. Ikhsan Effendi Yusuf
Ada yang menarik dari upacara kenegaraan di Istana. Presiden Prabowo menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada KH. Miftachul Akhyar.
Beliau adalah Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kursi tertinggi dalam jam’iyah terbesar umat Islam di Indonesia.
Di luar istana, PBNU sedang banyak ujian. Konflik internal, perebutan pengaruh, bahkan perdebatan klasik tentang siapa yang paling berhak menyandang sebutan “dzurriyah Rasulullah.”
Tapi di dalam istana, negara justru menaruh hormat.
KH. Miftachul Akhyar memang unik. Wajahnya teduh, tutur katanya tenang. Tidak suka tampil di panggung politik. Tidak agresif. Tidak keras.
Tapi justru keteduhan itulah yang membuat beliau dipercaya memegang amanah tertinggi di NU.
Saya pernah melihat beliau berceramah. Tidak berapi-api. Tapi dalam. Kalimatnya pendek-pendek. Tapi menembus.
Orang sering salah paham. Mereka mengira pemimpin besar harus selalu lantang. Padahal, kadang yang bangsa ini butuhkan bukan orator. Tapi penenang.
Bintang Mahaputera ini tentu bukan hadiah kecil. Ia diberikan hanya kepada orang-orang yang pengabdiannya dianggap luar biasa.
Apa jasa terbesar KH. Miftachul Akhyar?
Saya melihatnya begini, beliau hadir di NU pada saat NU mulai bertransformasi. Dari organisasi kultural, menuju ormas yang juga disorot dari sisi sosial politik, budaya, bisnis, hingga internasional.
Di tengah perubahan itu, NU butuh jangkar. NU butuh figur yang tidak mudah terbawa arus kepentingan. Figur yang tidak silau oleh perebutan jabatan.
KH. Miftachul Akhyar tampil sebagai jangkar itu.
Belakangan ini kita memang melihat riak-riak di tubuh NU.
Ada perebutan pengaruh antar-kader muda. Ada narasi sarat kepentingan yang sengaja terus dibesar-besarkan tentang pengakuan sebagai keturunan Nabi yang kelompoknya paling merasa dan paling berhak dari warga dzuriyah walisongo. Ada juga ujian lainya, yaitu adu kuat jaringan politik di balik layar.
Saya sering trenyuh getir melihat itu.
NU yang dulu lahir untuk membela umat, kini kadang lebih disibukkan oleh soal internal. Seperti keluarga besar yang sedang ribut warisan. Padahal rumahnya sendiri megah dan dihormati banyak orang.
Di situlah peran Rais Aam penting. Beliau tidak ikut ribut. Tidak ikut bicara kasar. Justru memberi contoh, bahwa kepemimpinan ulama bukan soal rebutan kursi. Tapi soal menjaga marwah.
Saya teringat sebuah kisah.
Di suatu forum, seorang tokoh muda NU bicara panjang soal strategi politik. KH. Miftachul Akhyar hanya tersenyum dan berkata pendek, “NU ini bukan hanya milik kita. NU ini milik umat. Jangan sampai umat merasa ditinggalkan.”
Kalimat sederhana. Tapi menohok.
Saya kira, negara memberi Bintang Mahaputera Utama kepada KH. Miftachul Akhyar juga karena melihat hal itu.
NU memang sedang berkompetisi di dalam. Tapi negara tidak mau melihat NU runtuh. Karena NU adalah salah satu tiang penyangga bangsa ini.
Bayangkan kalau NU rapuh, dengan jumlah warga nahdliyin puluhan juta, guncangannya bisa sampai ke politik nasional.
Maka, KH. Miftachul Akhyar diberi penghormatan bukan hanya karena jasanya di masa lalu. Tapi juga karena perannya sebagai penyangga moral di masa depan.
Tentu ada saja yang nyinyir.
“Ah, itu tanda jasa politik.”
“Ah, itu cuma simbol.”
Boleh saja nyinyir. Tapi jangan lupa, simbol juga penting.
Bintang di dada KH. Miftachul Akhyar bukan sekadar logam yang digantung di pita. Ia adalah pesan negara, “NU jangan runtuh. Rais Aam harus tetap jadi jangkar.”
Kalau soal konflik, NU sudah kenyang. Dari zaman KH. Hasyim Asy’ari sampai KH. Abdurrahman Wahid, NU tidak pernah sepi dari perbedaan. Tapi justru karena perbedaan itu NU besar.
Yang membedakan adalah, apakah perbedaan itu dikelola dengan teduh, atau dibiarkan jadi api.
KH. Miftachul Akhyar memilih jalan teduh.
Bintang Mahaputera Utama itu mungkin suatu hari akan lusuh. Bisa pudar. Bisa tergores.
Tapi keteladanan Rais Aam yang tenang di tengah badai, itu akan lebih abadi.
Saya mengharapkan, suatu saat nanti, ketika generasi muda NU sibuk berkompetisi, mereka akan mengingat, ada seorang kiai sepuh yang pernah mengajarkan, bahwa yang lebih penting dari kursi adalah marwah.
Bintang di dada KH. Miftachul Akhyar adalah bintang negara.
Tapi bintang di hati warga NU jauh lebih penting.
Dan selama NU masih punya sosok seperti beliau, saya yakin, badai apapun tidak akan menenggelamkan kapal besar itu NU.






