Oleh M Ikhsan Effendi
JOMBANG | KabarNahdliyin.com – Konflik di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hari ini sering dibaca sebagai urusan dapur internal. Padahal, membaca sejarah NU secara jujur, konflik semacam ini hampir selalu memiliki satu latar yang sama: NU sedang dibidik. Bukan oleh musuh yang terang-terangan, tetapi oleh kepentingan luar yang memahami betul satu fakta NU terlalu besar untuk diabaikan, dan terlalu berpengaruh untuk dibiarkan netral.
NU bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia adalah pabrik legitimasi moral. Siapa pun yang mendapat restu NU, setidaknya tidak akan ditolak oleh umat. Karena itu, setiap musim politik, NU akan menjadi incaran. Dan ketika incaran itu tidak bisa ditembus dari luar, ia dicoba dimasuki dari dalam.
Sejarah mencatat pola ini berulang.
Pada masa Orde Baru, tekanan dilakukan secara frontal. Regulasi dibuat, elite dijinakkan, dan ruang gerak dipersempit. Namun NU saat itu masih memiliki daya tahan kolektif yang sangat kuat. Ketika tekanan terlalu keras, NU memilih jalan sunyi: kembali ke khittah 1926. Itu bukan langkah mundur, melainkan strategi menyelamatkan diri dari pembajakan kekuasaan.
Hari ini, metode membidik NU jauh lebih halus. Tidak ada larangan, tidak ada pembredelan. Yang ada adalah rayuan akses, posisi, dan kedekatan. Tidak ada paksaan, yang ada adalah kepentingan yang dibungkus persahabatan. NU tidak disuruh berpihak, tetapi diarahkan agar “tidak terlalu netral”.
Di sinilah konflik PBNU menemukan konteksnya.
Ketika keputusan-keputusan strategis organisasi mulai dibaca publik sebagai terlalu akomodatif terhadap kekuasaan tertentu, resistensi muncul. Bukan karena warga NU anti-politik, tetapi karena mereka paham satu hal: NU yang terlalu dekat dengan kekuasaan akan kehilangan daya kritiknya. Dan NU yang kehilangan daya kritik akan kehilangan wibawanya.
Aktor luar yang membidik NU jarang muncul di panggung. Mereka tidak berbicara atas nama NU. Mereka cukup memastikan bahwa NU “aman”, “tidak mengganggu”, dan bila mungkin, “bersahabat”. Dalam politik, itu sudah lebih dari cukup. NU tidak perlu dimiliki, cukup dikondisikan.
Hikmah pertama dari konflik PBNU hari ini adalah terbongkarnya ilusi netralitas semu. Ketika NU terlalu sering dikaitkan dengan satu poros kekuasaan, maka konflik internal menjadi peringatan. Tanda peringatanya bahwa jam’iyyah sedang ditarik keluar dari relnya.
Hikmah kedua, konflik ini membuktikan bahwa NU masih memiliki sistem ketahanan. Selama masih ada kiai, santri, dan warga yang berani bersuara, NU belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Konflik justru menjadi bentuk perlawanan kultural terhadap upaya pembajakan halus.
Hikmah ketiga, konflik PBNU mengingatkan bahwa aktor luar selalu datang dan pergi, tetapi NU tetap tinggal. Kekuasaan bersifat sementara, yaitu jam’iyyah dibangun untuk jangka panjang. Ketika NU terlalu sibuk mengamankan hubungan dengan penguasa, ia berisiko kehilangan hubungan dengan jamaahnya sendiri.
Sejarah NU selalu berpihak pada mereka yang menjaga jarak sehat dengan kekuasaan. Bukan menjauh total, tetapi cukup dekat untuk menasihati, dan cukup jauh untuk mengkritik. Setiap kali jarak itu hilang, konflik muncul sebagai mekanisme koreksi.
PBNU hari ini sedang diuji: apakah ia menjadi benteng yang kokoh, atau sekadar pintu yang bisa dibuka dari dalam. NU tidak akan runtuh oleh konflik. Tetapi NU bisa melemah jika lupa bahwa bidikan paling berbahaya bukan yang datang dari depan, melainkan yang datang dengan senyum dan tawaran.
Sejarah belum selesai menulis NU. Dan konflik hari ini akan menjadi catatan penting: apakah NU berhasil menghindari pembajakan, atau justru sibuk menyelesaikan konflik sambil kehilangan arah. (Hadi S)











