Oleh: R Hadi Siswanto
NU tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari rahim peradaban pesantren, dari peluh perjuangan para ulama yang tak hanya berpikir untuk umat, tetapi juga untuk bangsa. Dan dari sekian tempat yang memiliki tautan kuat dengan sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama, Jombang adalah salah satu yang paling sentral—dan karena itu layak untuk dijadikan Ibu Kota Nahdlatul Ulama. (*)
Sejarah mencatat, tiga tokoh pendiri utama NU semuanya berakar dari bumi Jombang: Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng yang meletakkan dasar keilmuan dan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah An-Nahdliyah; KH. Wahab Hasbullah, tokoh muda cerdas yang menggagas Nahdlatul Wathan dan menjadi penggerak kultural NU; serta KH. Bisri Syansuri, ulama ahli fikih yang moderat dan progresif, yang kelak menjadi Rais ‘Aam NU pertama pasca kemerdekaan.
Jombang bukan sekadar tempat kelahiran mereka, tetapi juga ladang awal perjuangan intelektual dan spiritual NU. Dari pesantren-pesantren di Jombang inilah, tradisi keilmuan Islam Nusantara dikembangkan, diorganisasi, dan diteguhkan dalam bentuk jam’iyah Nahdlatul Ulama.
Maka, wacana menjadikan Jombang sebagai Ibu Kota NU bukanlah upaya administratif semata. Ini adalah upaya untuk meneguhkan kembali akar sejarah dan kultural NU—agar generasi mendatang tidak tercerabut dari nilai-nilai awal perjuangan para muassis. Jombang dapat dikembangkan sebagai pusat simbolik dan spiritual NU: tempat berdirinya museum muassis, pusat kajian Aswaja, hingga akademi kader ulama dengan jejaring pesantren se-Nusantara.
Lebih jauh, ini juga menjadi pesan penting bahwa NU, sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, tetap berpijak pada tanah air dan tradisi pesantren. Modernisasi tidak harus meninggalkan akar. Justru dari Jombang—tanah yang penuh barakah dan warisan ulama inilah—modernisasi NU bisa dilandasi oleh ruh keilmuan, kesantunan, dan kemandirian.
Menjadikan Jombang sebagai Ibu Kota NU adalah bentuk ta’dzim kita pada para muassis. Ini bukan sekadar romantisme sejarah, tapi ihtiar menyambung sanad perjuangan. Sebab bangsa yang besar dan organisasi yang kuat adalah mereka yang tahu dari mana mereka berasal—dan ke mana harus melangkah.












