Oleh: M Ikhsan Effendi
JOMBANG | Kabar Nahdliyin.com – PBNU hari ini sedang menjadi panggung paling mahal di republik ini: bukan hanya panggung dakwah, bukan hanya panggung syiar, tetapi panggung rebutan kendali. Di mana yang dipertaruhkan bukan sekadar kursi ketua umum, melainkan arah peradaban umat, massa jutaan nahdliyin, dan tentu godaan kekuasaan lima tahun mendatang.
Selama ini NU sering digambarkan sebagai benteng paling sulit ditembus. Secara historis benar. NU bukan kelompok yang goyah hanya karena tekanan, fitnah, atau provokasi. Semakin ditekan, NU justru mengeras menjadi baja. Tetapi kini instrumen tekanannya berbeda. NU tidak diserang dari luar. NU sedang dibuka dari dalam. Sama seperti rumah tangga, perpecahan paling mematikan bukan yang datang dari tetangga, melainkan dari arah pintu ruang keluarga.
Yang membuat situasi menjadi terasa getir adalah: kekacauan ini tampak bukan terjadi secara alamiah. Terlalu rapi. Terlalu sistematis. Terlalu presisi untuk hanya disebut “konflik biasa”. Bahkan bagi warga NU yang awam organisasi pun bisa membaca pola besar ini: ada tangan dingin yang bekerja dalam senyap, tapi mengatur dalam detail. Bisa dibaca pada sidang pleno tanggal 9 kemarin yang hadir cuma 25% dari jumlah struktur PBNU, namun memaksa mensahkan keputusan untuk melantik pjs PBNU.
Caranya oprasionalnya sederhana tapi mematikan: ubah ruh NU menjadi pasal hukum. Jadikan syuriyah sekadar struktur, bukan marwah. Jauhkan pengurus dari para masyayikh. Musyawarah dikecilkan maknanya, instruksi dibesarkan suaranya. Dalam sekejap, NU tidak lagi berwajah pesantren melainkan berwajah kantor birokrasi. Buktinya seruan kiyai sepuh dan Mustasyar di Tebuireng diabaikan.
Kita bisa menyebut ini modernisasi. Tapi dalam rasa NU struktur bukan ruh. Jika ruh dicabut, NU hanya tinggal nama. Dan ketika nama menjadi komoditas politik, ia tinggal menunggu siapa yang paling pandai menawar.
Dalam hitungan bulan, friksi demi friksi akan muncul. Rapat pleno yang seharusnya menjadi forum maslahat berubah menjadi ruang legitimasi. Keputusan yang seharusnya menjadi hasil tawassuth dan tawazun, justru dipandang publik sebagai rekayasa yang disiapkan jauh hari. Rapat bukan lagi tempat mencari mufakat, melainkan alat teknis untuk mensahkan skenario.
Di ruangan-ruangan sunyi, nama “penumpang gelap” itu mulai disebut. Bukan karena ia tampil di podium, tapi karena bayangannya terlihat di setiap keputusan yang keluar aneh. Yang dulunya mustahil, kini menjadi mungkin. Yang dulunya tabu, kini menjadi prosedur.
Bahwa NU menjadi rebutan itu sudah biasa. Semua ingin dekat NU. Semua ingin berada dalam orbit NU. Tapi yang luar biasa adalah keberhasilan mereka yang berada di luar orbit itu untuk mengambil alih kemudi dari jarak jauh. Bukan memimpin, tapi mengendalikan.
Pada titik ini, warga Nahdliyin berharap Presiden Prabowo ikut menyelamatkan. Presiden bisa sebagai sosok yang diharapkan menjadi rem. NU terlalu besar untuk dibiarkan menjadi boneka kelompok tertentu. NU bukan ban serep kekuasaan. NU adalah penentu etika moral bangsa. Jika PBNU terpapar skenario politik pemilu 2029 terlalu dini, maka yang dikhawatirkan bukan hanya kekeruhan internal NU, tetapi juga getaran ke seluruh umat.
Kapal besar bernama PBNU ini memang kokoh. Tetapi jika ruang kemudi telah dimasuki operator tak dikenal, bahaya bukan lagi soal gelombang laut, melainkan soal arah tujuan. Kapal yang salah arah bukan tenggelam, tapi hilang.
Semua pihak mungkin merasa memiliki argumentasi benar. Tetapi satu hal yang tidak boleh ditawar adalah: NU tidak boleh kehilangan jati diri hanya karena ambisi. Dalam sejarahnya, NU memiliki daya pulih paling kuat. Namun daya pulih selalu dimulai dari kejujuran membaca luka.
Kini saatnya NU kembali pulang kepada para ulama, bukan kepada administratur kekuasaan. Kembali pada tradisi tabayun, bukan pada kalkulasi politik. Kembali pada musyawarah di tepi serambi pesantren, bukan pada pengetikan notulen pasal dan ayat di ruang tertutup.
Karena ketika ruh NU kembali hidup, semua skenario kotor akan runtuh dengan sendirinya. Dan kekuasaan, betapapun menggoda, akan kembali berada di tempat yang seharusnya: bukan di dalam PBNU, melainkan di luar pagar pesantren.
Yaa Jabbar Yaa Qohar












