Oleh: H Ikhsan Effendi
JOMBANG | KABARNAHDLIYIN – Video yang seolah menampilkan Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut guru sebagai “beban negara” adalah hoaks. Kemenkeu dengan tegas membantah dan menjelaskan bahwa itu adalah hasil manipulasi berupa deepfake atau pemotongan konteks dari pidato aslinya di Forum Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (ITB) pada 7 Agustus 2025 .
Dalam pidato aslinya, Sri Mulyani justru menyampaikan keprihatinan terhadap kecilnya gaji guru dan dosen bagian dari tantangan pembiayaan pendidikan bagi keuangan negara. Beliau mempertanyakan, apakah beban itu harus seluruhnya ditanggung oleh APBN, atau masyarakat juga seharusnya berkontribusi dalam bentuk partisipasi tertentu .
Guru itu bukan beban tetapi pengabdian yang menghidupkan bangsa.
Baru-baru ini, beredar potongan video yang menyebut Ibu Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan guru sebagai “beban negara”. Muncul seperti petir kilat, mengejutkan, menusuk hati banyak insan pendidik, terutama guru honorer di pelosok. Tentu saja, langsung banyak yang terluka. Mereka yang dengan sepenuh hati mengajar anak-anak di tengah keterbatasan, merasa disudutkan, dikotori oleh bahasa yang tak pantas.
Namun, untunglah kebenaran itu biasanya tak bisa dibungkam oleh kebisingan sesaat. Kemenkeu cepat menanggapi menyebut potongan itu hoaks, deepfake, manipulasi digital dari pidato asli yang memang menyebut adanya tantangan fiskal, bukan menyebut guru sebagai beban bangsa . Perlu diperjelas, beliau memang menyampaikan, “menjadi guru dan dosen tidak dihargai karena gajinya kecil, ini tantangan bagi keuangan negara” lalu bertanya apakah pembiayaannya harus sepenuhnya dari APBN atau mungkin ada partisipasi masyarakat .
Logika orang yang punya hati nurani akan bilang, guru itu bukan beban. Mereka itu tabungan masa depan bangsa. Mereka mendidik generasi yang belum lahir menjadi pahlawan.
Memang, anggarannya berat. Pendidikan memerlukan biaya, gaji, tunjangan, pelatihan, kesejahteraan. Tapi bukankah itu adalah investasi? Layaknya kita menanam pohon. Kita tanam bukan karena pohonnya akan bayar kita kembali dengan uang, tetapi karena pohon itu memberikan naungan, buah, dan udara bersih untuk masa depan.
Saya membayangkan di balik meja kayu papan di desa terpencil, ada guru honorer yang rela datang pagi, menyalakan lampu pelita, menulis huruf di papan tulis yang sudah pudar dengan uang sendiri untuk beli kapur. Tak ada rumah dinas, tak ada tanda jasa mewah. Mereka datang karena cinta. Itulah wujud pengabdian guru tanpa pamrih.
Jadi, ketika muncul potongan video yang katanya mengatakan mereka “beban negara”, itu seperti goresan pisau licik memotong kebaikan menjadi noda. Teriakan masyarakat, aksi guru, kritik pakar semuanya berangkat dari luka, bukan dari amarah buta.
Seoalah-olah, kata ‘beban’ dipetik seperti buah yang matang, tanpa konteks. Padahal dalam mana pidato Sri Mulyani membahas soal tantangan pembiayaan, bukan merendahkan profesi pendidik. Dan beliau sendiri, lahir dari keluarga akademik. Ibunya seorang guru besar. Beliau memahami nilai guru sejak kecil seperti anak menabur benih, kemudian menumbuhkan sendiri kesadaran atas penggajian yang layak .
Saya berkesimpulan bahwa “Hoaks itu seperti angin puting beliung datangnya cepat, merusak gagasan baik, tapi biasanya juga hilang dengan cepat jika kita punya pondasi kuat.”
Pondasi itu adalah profesionalisme guru, semangat pengabdian desa, dan respons cepat lembaga. Kemenkeu dan Sri Mulyani tidak tinggal diam, mereka klarifikasi. Mereka bilang video itu hoaks, deepfake. Pernyataan aslinya malah menyentuh hati nurani: “apakah semua harus ditanggung negara, atau masyarakat juga bisa berkontribusi?” Bukan menyalahkan guru, tapi mendorong diskusi solusi bersama solusi yang mencakup anggaran, reformasi, dan kepedulian sosial .
Guru itu pahlawan tanpa tanda jasa. KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Abdurrahman Wahid semua lahir dari jalur pengabdian, mencerdaskan umat, membentuk peradaban. Mereka tak menuntut pamrih duniawi. Dan guru saat ini di pelosok, di kampung, di atas sampan, di tengah badai ekonomi, mereka tetap hadir menyapa anak-anak, menyalakan pencerahan.
Sebagai Dewan Pendidikan, kita wajib jujur soal anggaran. Harus jujur soal keterbatasan, dan lebih jujur soal prioritas. Jika anggaran belum cukup, kita tak boleh diam. Bicarakan, reformasi sistem, desentralisasi anggaran, tingkatkan kualitas guru, hargai kinerja, berdayakan komunitas skema tunjangan profesional, renovasi sekolah, pelatihan digital, partisipasi filantropi, bisnis sosial pendidikan semua bisa dirajut bersama.
Kalau saya boleh menutup dengan harapan, biarlah hoaks menjadi peringatan, bukan penghalang. Hoaks mengingatkan kita bahwa menjaga reputasi guru dan menjaga kebenaran adalah dua sisi dari tugas besar bangsa. Semoga guru di pelosok, di kota, di manapun tetap menjadi cahaya. Bukan beban. Dan semoga pemerintah, masyarakat, dan semua pihak melihat pendidikan sebagai investasi hati, bukan sekadar angka anggaran. (Hadi)












