Ada Hikmah Nasional dari Ujian PBNU, Islah sebagai Jalan Pulang: Mengembalikan PBNU pada Ruh Ukhuwah dan Khidmah

Oleh: M Ikhsan Effendi

Gunjang-ganjing di tubuh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) belakangan ini menyita perhatian nasional. Tidak hanya karena PBNU merupakan representasi mayor umat Islam di Indonesia, tetapi juga karena dinamika internal organisasi ini selalu memiliki implikasi sosial-politik yang lebih luas. Di tengah riuh wacana dan spekulasi, muncul suara bening dari KH. Fahmi Amrullah, cucu Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari. Di hadapan pusara sang muassis, beliau mengadu dan berpesan: “Mestinya Ketum PBNU dan Rais Aam PBNU, bila bisa islah segera islah. Jika tidak bisa harus mundur semua, karena kalau ada masalah segera diselesaikan dengan tradisi NU, yaitu musyawarah dan tabayun.”

Kalimat sederhana, namun menohok itu, seakan menjadi kilas-kilas doa dan ketegasan moral dari garis nasab pendiri NU. Islah bukan sekadar teknik penyelesaian konflik, tetapi napas dasar dari manhaj ahlussunnah wal jama’ah yang diwariskan para masyayikh: tabayun, tasamuh, tawassuth, dan ta’addub. Ketika syiar organisasi terguncang oleh konflik kepemimpinan, suara itu mengajak kembali pulang: kembali pada cita awal, kembali ke ruh ukhuwah dan khidmah.

Kisruh yang muncul pasca kebijakan pengelolaan tambang memperlihatkan bahwa pusaran politik, ekonomi, dan kepentingan nasional masuk sangat deras ke dalam ruang keulamaan. Bukan hanya memicu ketegangan internal, tetapi juga membuka ruang tafsir publik bahwa organisasi keagamaan terbesar di Indonesia tidak lagi steril dari urusan industrial dan pragmatisme kekuasaan. Namun, di balik itu semua, ada ruang terang: persoalan PBNU menjadi pendidikan kebangsaan terbuka.

Kita menyaksikan dua hal sekaligus. Pertama, organisasi sebesar PBNU ternyata tidak kebal dari kontestasi kekuasaan. Kedua, publik tidak lagi mudah disuruh diam. Perdebatan isu keturunan nabi yang kini sampai pada tuntutan pembuktian DNA, dan polemik ijazah mantan presiden Jokowi yang ternyata hanya sumbu awal pertarungan politik 2029, memperlihatkan betapa teknologi digital telah mengubah format kontrol pengetahuan. Masyarakat kini menjadi “komentator total”, tanpa sekat otoritas. Mereka ingin bukti, ingin transparansi, ingin verifikasi digital. Dunia dakwah, fiqh, kepemimpinan, bahkan nasab dan sanad kini dipaksa tunduk pada sorotan kamera dan algoritma.

Namun di sinilah kita belajar. Bahwa teknologi harus disikapi dengan kematangan ilmu. Jika tidak, publik akan mudah terseret gelombang politik, propaganda, dan industri opini. Media sosial sudah tidak hanya menjadi ruang berbagi, melainkan arena perang narasi, arena pertempuran legitimasi, dan ruang adu klaim otoritas. Para kiai pesantren dan guru bangsa menghadapi tantangan baru: membimbing umat agar tetap tabayun di tengah banjir timeline.

Ujian di PBNU saat ini, jika ingin dibaca dari kacamata optimisme moral, justru sedang membuka jendela hikmah. Masyarakat kini belajar bahwa konflik internal ulama pun harus diselesaikan dengan adab ulama. Suara KH. Fahmi Amrullah adalah panggilan etis: ketika sebuah organisasi tidak mampu menyatu, pemimpin harus berjiwa besar, islah atau mundur. Sebab kekuasaan bukan tujuan, tetapi amanah.

Hari ini PBNU memikul dua tanggung jawab sekaligus: tanggung jawab spiritual yang diwariskan Hadratussyeikh, dan tanggung jawab sosial-politik di tengah republik yang semakin bising. Maka islah bukan sekadar penyelesaian masalah, tetapi jalan pulang. Jalan kembali ke rumah keulamaan yang berdiri di atas tradisi musyawarah, tabayun, dan kesucian khidmah. Jalan pulang yang menegaskan bahwa NU bukan panggung ambisi, melainkan ruang aman bagi umat menemukan arah.

Jika hikmah dapat lahir dari badai, maka badai PBNU ini semoga menjadi penanda kebangkitan baru: organisasi pulang pada ruhnya, umat semakin dewasa bermedsos, dan bangsa semakin matang menyaring informasi. Karena islah, pada akhirnya, bukan sekadar berdamai, tetapi kembali menemukan jati diri. (Hadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *