JOMBANG | KabarNahdliyin.com – Absennya Bupati Jombang, Abah Warsubi, dalam acara Rijalul Ansor yang dihadiri Ketua PCNU Jombang menimbulkan sorotan publik. Peristiwa ini dianggap bukan sekadar persoalan agenda yang berbenturan, melainkan mengirim pesan politik terkait melemahnya relasi antara kekuasaan lokal dengan kekuatan tradisional keagamaan, khususnya organisasi besar warisan para pendiri Nahdlatul Ulama.
Alih-alih menghadiri forum keagamaan yang sarat simbol kebersamaan, Abah Warsubi justru memilih turun ke jalan melakukan patroli Harkamtibmas. Keputusan ini dibaca publik sebagai gestur kepemimpinan yang lebih fungsional-teknokratik ketimbang pendekatan kultural yang selama ini identik dengan kepemimpinan sebelumnya.
“Padahal kegiatan ini terselenggara atas sinergi antara PC GP Ansor Jombang dengan Forkopimda, dikemas dengan Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H sekaligus doa keselamatan bangsa,” kata Ahmad Hasan Afandi, akademisi FISIP Universitas Islam Mojopahit, Minggu (7/9).
Hasan menegaskan, pemerintah daerah perlu memahami bahwa hubungan dengan kelompok kultural bukan hanya relasi pragmatis, tetapi bagian dari infrastruktur legitimasi. “Rijalul Ansor bukan forum pinggiran, melainkan ruang sakral untuk memperkuat ikatan dengan para kiai dan jamaah. Ketika seorang bupati absen, apalagi tanpa penjelasan komunikatif, bisa berdampak panjang pada kepercayaan publik. Wajar jika publik membaca ada jarak,” ujarnya.
Sebelum acara ini, Abah Warsubi memang sempat hadir dalam istighosah dan tasyakuran di Kebon Rojo bersama masyarakat. Namun, absennya di forum Ansor tetap memunculkan tafsir politik berbeda.
Menurut Hasan, dalam dinamika politik mutakhir, jargon keamanan dan stabilitas tampak lebih diutamakan dibanding konsolidasi kultural dengan organisasi keagamaan. “Langkah ini mungkin punya justifikasi birokrasi. Tapi dalam kultur Jombang yang kental tradisi pesantren dan NU, absennya kepala daerah dalam forum sakral keagamaan bisa ditafsirkan sebagai pelemahan legitimasi kultural. Ini bisa jadi awal ketegangan simbolik antara kekuasaan dan kultur,” jelasnya. (Hadi)












