Menjadikan Pendidikan Inklusif Sebagai Komitmen Nyata

Oleh: Dr. Ahmad Sholikhin Ruslie, SH., MH
Dosen Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

JOMBANG | KABARNAHDLIYIN.COM – Pendidikan adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi, sebuah hak universal yang seharusnya tidak mengenal sekat fisik, sosial, maupun intelektual. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan. Ini merupakan panggilan moral dan politik bagi negara untuk menghadirkan sistem pendidikan yang menjangkau semua anak, termasuk mereka yang berkebutuhan khusus (ABK). Rabu, (02/07/2025)

Pendidikan inklusif hadir sebagai jawaban atas panggilan tersebut. Melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta turunannya, mewajibkan negara menyediakan layanan pendidikan yang responsif dan akomodatif bagi penyandang disabilitas. Namun, idealisme regulatif ini kerap terhambat oleh kenyataan implementatif di lapangan.

Kabupaten Jombang sesungguhnya telah mengambil langkah progresif dengan menetapkan Peraturan Bupati Nomor 39 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Ini patut diapresiasi. Namun, langkah hukum ini belum dibarengi dengan kesiapan sistemik, terutama pada aspek sumber daya manusia. Mayoritas guru di satuan pendidikan belum memiliki kompetensi pedagogis yang memadai dalam menangani peserta didik ABK. Pelatihan yang ada bersifat sporadis dan jangka pendek, tidak cukup untuk membangun keahlian mendalam yang diperlukan dalam pengelolaan kelas inklusif. Perlu langkah yang lebih serius lagi untuk melangkah agar ada lebih konsistensi dan kontinyuitasnya dapat dipertanggung jawabkan.

Masalahnya bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga soal kesadaran dan jaminan ketersediaan anggaran yang mumpuni dan terarah. Kesadaran bahwa pendidikan inklusif bukan hanya urusan guru pendamping atau sekolah-sekolah tertentu. Ini adalah komitmen bersama. Guru, kepala sekolah, bahkan wali murid harus turut andil memahami, menerima, dan beradaptasi dengan keberagaman anak di ruang kelas. Tanpa kesadaran bersama, pendidikan inklusif akan tetap menjadi wacana yang tidak menjejak pada realitas ideal.

Sayangnya, perhatian pemerintah daerah masih terfokus pada pemenuhan sarana prasarana, meskipun masih jauh dari harapan. Fasilitas fisik Memeng perlu akan tetapi, sebaik apapun fasilitas fisik tidak akan mampu menjawab kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus jika tidak disertai kesiapan tenaga pendidik yang adaptif dan kurikulum yang inklusif. Terlebih, Peraturan Bupati tersebut belum mengakomodasi partisipasi penyandang disabilitas dan masyarakat sipil dalam evaluasi maupun pengawasan pelaksanaan kebijakan. Tanpa pelibatan mereka yang menjadi subjek dari kebijakan itu sendiri, prosesnya menjadi elitis dan jauh dari prinsip good governance yang partisipatif dan transparan.

Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Jombang melangkah lebih jauh: bukan hanya berhenti pada regulasi setingkat Perbup yang bersifat regulatif administratif, tapi segera merumuskan Peraturan Daerah sebagai bentuk regeling yang memuat norma yang berkekuatan hukum. Perda ini harus memuat ketentuan yang mengikat mengenai standar layanan, mekanisme akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat khususnya penyandang disabilitas, dalam merancang, menjalankan, dan mengevaluasi kebijakan pendidikan inklusif.

Pendidikan inklusif bukanlah belas kasihan, melainkan hak yang harus dijamin negara. Maka, keberhasilan pendidikan inklusif tidak dapat hanya diukur dari jumlah sekolah yang menerima ABK, tetapi dari seberapa siap seluruh ekosistem pendidikan dalam menghargai, mengakomodasi, dan mengembangkan potensi setiap anak. Jika kita serius ingin mewujudkan masyarakat yang berkeadilan dan setara, pendidikan inklusif harus menjadi kesadaran bersama, bukan sekadar kewajiban administratif. (Hadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *