Perlu Sentuhan serius Pemkab Jombamg

oleh -12 views

JOMBANG | kabarnahdliyin.com – Di tengah deretan rumah-rumah permanen yang berdiri kokoh di Dusun Semanding, Desa Sumbermulyo, Kecamatan Jogoroto, tersembunyi sebuah potret memilukan: sebuah rumah reyot berdinding bambu rapuh dan atap berlubang, nyaris roboh dimakan usia. Di tempat itulah, hidup seorang nenek renta bernama Poniti (60), bersama dua anak laki-lakinya, Sandi Maulana (37) dan Feri Dwi Pamungkas (22), serta seorang menantu dan dua cucu. Enam jiwa bertahan dalam keterbatasan ekstrem—tanpa penghasilan tetap, tanpa jaminan sosial, tanpa harapan yang pasti. Selasa (17/06/2025)

Saat Hujan Turun, Derita pun Tumpah

Bagi keluarga Poniti, langit mendung bukan pertanda datangnya berkah, melainkan peringatan atas datangnya bencana kecil: hujan deras yang menembus atap berlubang dan menggenangi lantai tanah di rumah mereka. Atap yang seharusnya melindungi kini hanya berupa tambalan plastik bekas, karung sobek, dan seng berkarat. Ketika malam tiba, angin dingin menerobos celah-celah dinding bambu, membuat tubuh mereka menggigil tanpa selimut yang layak.

> “Saya sering takut rumah ini roboh kalau angin besar datang,” ujar Poniti lirih, dengan suara bergetar dan tatapan kosong menembus gelapnya masa depan.


Dinding Rapuh, Kehidupan Tanpa Sekat

Tak ada kamar, tak ada privasi. Rumah Poniti hanyalah satu ruangan besar tanpa sekat, di mana sebuah tirai robek menjadi pemisah seadanya antar sudut. Lantai rumah yang berupa tanah menjadi becek saat hujan turun. Tidak ada perabotan berarti—hanya kasur tipis yang lembap, bantal usang, dan sebuah lampu redup yang menjadi teman malam panjang mereka.

Bertahan dari Pekerjaan Serabutan, Tak Pernah Tersentuh Bantuan

Dalam data resmi, Poniti tercatat sebagai kepala keluarga. Kedua anak laki-lakinya belum menikah dan hanya mengandalkan pekerjaan serabutan jika ada warga yang membutuhkan bantuan. Sayangnya, penghasilan itu sangat tidak menentu. Hingga hari ini, keluarga Poniti belum pernah menerima bantuan apapun—baik dari Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (RTLH), maupun program sosial lainnya.

> “Saya cuma ingin rumah ini diperbaiki. Biar anak-anak saya bisa tidur tenang, tidak kehujanan,” ungkap Poniti sambil menahan air mata.

Di Dekat Kemewahan, Ada Derita yang Tak Terlihat

Yang lebih menyayat hati, rumah reyot keluarga Poniti hanya berjarak beberapa rumah dari kediaman seorang anggota DPRD Kabupaten Jombang dari partai besar. Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada bantuan atau kunjungan langsung dari wakil rakyat tersebut.

Saat dihubungi oleh awak media, sang anggota dewan mengaku tidak mengetahui kondisi tersebut. Bahkan setelah diperlihatkan foto rumah Poniti, ia tampak terkejut dan mengaku belum pernah mendapat laporan dari pihak desa.

Sementara itu, Mulyadi, Kepala Dusun Semanding, membenarkan kondisi tersebut.

> “Kami sudah berupaya mengajak warga sekitar untuk bergotong royong membangun rumah Bu Poniti, tapi belum ada respon. Warga masih enggan untuk ikut membantu,” ujarnya.

Seruan Kemanusiaan untuk Negeri

Kisah keluarga Poniti adalah wajah nyata dari kemiskinan yang masih mencengkeram sebagian masyarakat kita, bahkan di tengah gencarnya pembangunan nasional. Kondisi rumah yang nyaris roboh itu bukan hanya tak layak huni—tapi sudah menjadi ancaman langsung bagi keselamatan jiwa.

Warga sekitar mengaku telah berulang kali melaporkan kondisi ini ke pihak desa dan kecamatan, namun belum ada tindakan konkret dari pemerintah daerah. Mereka kini berharap besar pada Dinas Sosial Kabupaten Jombang untuk segera turun tangan melakukan asesmen dan memberi prioritas bantuan kepada keluarga Poniti.

Kisah ini bukan sekadar narasi tentang kemiskinan. Ini tentang empati yang mulai pudar, tentang tanggung jawab sosial yang terlupa, dan tentang pertanyaan yang menyentil nurani kita bersama. (Rtn)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

No More Posts Available.

No more pages to load.