Resolusi Jihad, Api yang Menyalakan 10 November

Oleh: M Ikhsan Effendi

Ada satu halaman sejarah Indonesia yang sempat pudar, bahkan nyaris hilang dihapus ingatan bangsa: Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Halaman itu bukan sekadar catatan kecil di pinggir sejarah, tapi justru bara yang menyalakan api besar api perlawanan yang menjelma menjadi Pertempuran 10 November, yang kini kita kenang sebagai Hari Pahlawan.

Selama puluhan tahun, terutama di era Presiden Soeharto, narasi resmi sejarah Indonesia disusun ulang dengan sangat politis. Kisah heroik rakyat Surabaya dijaga tetap hidup, tetapi akar spiritual dan keagamaan dari peristiwa itu sengaja disembunyikan. Nama “Resolusi Jihad” tak pernah disebut dalam buku-buku pelajaran. Seolah perlawanan itu murni sekadar pertempuran fisik, tanpa ada getar iman di baliknya.

Namun, sejarah tak bisa dikubur selamanya. KH Agus Sunyoto seorang budayawan dan sejarawan Nahdlatul Ulama membuka kembali lembar yang terkunci itu. Ia menemukan catatan dari sejarawan Amerika Serikat, Frederik Anderson, yang menulis tentang adanya Resolusi Jihad yang dikeluarkan oleh PBNU pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. Anderson bahkan menunjukkan bukti: pada 27 Oktober 1945, koran Kedaulatan Rakyat memuat teks lengkap Resolusi Jihad. Koran Suara Masyarakat juga memuat berita yang sama. Fakta-fakta ini adalah saksi bisu yang menegaskan: resolusi itu nyata adanya.

Isi Resolusi Jihad sangat tegas: membela tanah air dari penjajahan adalah fardhu ‘ain kewajiban pribadi bagi setiap muslim. Ulama menyerukan agar umat Islam angkat senjata melawan kembalinya kolonialisme Belanda yang datang bersama sekutu. Seruan ini menggema dari masjid ke masjid, dari pesantren ke kampung-kampung. Dari situlah gelombang massa bergerak, menyalakan semangat perjuangan yang kemudian meledak dalam pertempuran besar di Surabaya.

Ketika Bung Tomo berteriak lewat radio, “Allahu Akbar! Merdeka atau mati!” itu bukan sekadar pekik politik, tapi gema spiritual yang berakar dari Resolusi Jihad. Inilah saat di mana iman dan nasionalisme bersatu dalam satu tarikan napas.

Baru pada masa Presiden Jokowi, lembaran sejarah itu dibuka kembali secara resmi. Pemerintah menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional, menghormati peran para ulama dan santri yang menjadi jiwa di balik perjuangan 10 November. Sejarah yang dulu dibisukan kini disuarakan kembali, bukan untuk membangkitkan kebencian, tapi untuk menegakkan kebenaran.

Peristiwa 10 November bukan hanya tentang peluru, darah, dan kemerdekaan. Ia adalah kisah tentang keyakinan, tentang doa yang berubah menjadi keberanian, tentang pesantren yang menjelma menjadi medan juang. Di sanalah lahir generasi yang berperang bukan untuk kuasa, tapi untuk kehormatan bangsa dan iman.

Kini, setiap kali kita memperingati Hari Pahlawan, kita tak hanya mengenang mereka yang gugur di medan tempur. Kita juga mengingat suara para ulama yang menyeru dari mimbar dan langgar kecil, membakar semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan. Dari Resolusi Jihad lahir 10 November. Dan dari semangat itu lahir Indonesia yang merdeka sebuah bangsa yang berdiri bukan hanya di atas darah para pejuang, tapi juga di atas doa para santri. (Hadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *