JOMBANG, KN – Apa yang terjadi didalam tubuh NU dalam kurun waktu 10 tahun ini menjadi perhatian dan melahirkan rasa was was bagi sebagian kader NU di Indonesia maupun diluar negeri, bahkan, masyayikh dan ulama NU menjadi jujukan pertanyaan atas keruwetan NU selama 10 tahun terakhir ini. Keruwetan itu terjadi bukan saja pada persoalan aqidah ahlussunnah wal jamaah ala Nahdliyah yang kerap diseret seret pihak tidak bertanggungawab, dan ironisnya sebagian melihat gerakan mendegradasi faham Aswaja NU tersebut dari dalam NU sendiri.
Belum lagi kedekatan pengurus PBNU dengan pejabat, bahkan tidak ada iwuh pekiwuh ketika terpilih menjadi pejabat, ditambah lagi adanya peran salah satu parpol yang hingga kini memagari NU, itu semua menambah beban berat NU, kapankah NU terlepas dari keadaan ini semua, sehingga warga NU dapat mengembangkan karakteristik tradisi NU yang dimiliki selama ini, mungkin jawabannya masih jauh dari harapan, jika melihat rencana Muktamar NU 34 akan datang, ternyata para tokoh masih sibuk urusan pencalonan posisi Ketua Umum. Apakah hal tersebut sebuh sikap pesimis?.
Tidak mendahului Qudrat dan Iradat (kuasa dan kehendak) Allah, SWT, rasanya sulit mengembalikan NU pada fitrahnya, bisa kita lihat menjelang Muktamar NU ke 34 sekarang ini saja, PBNU masih ribut soal siapa yang bakal memimpin PBNU, sebenarnya siapapun yang memimpin PBNU tidak menjadi soal bagi warga NU asal mau mengembalikan NU pada Khittahnya, tidak berpolitik praktis dan tidak tergoda dengan jabatan apalagi minta dipilih menjadi pejabat. Berharap Pengurus PBNU hasil Muktamar 34 menjalankan NU sesuai Khittahnya adalah keniscayaan.
Beberapa waktu lalu Cucu Pendiri NU, KH. Fahmi Amrullah Hadizk, yang akrab disapa Gus Fahmi, Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng mengajak kepada semua pihak yang cinta kepada NU untuk kembali pada hatinya masing masing, hal tersebut ketika dimintai komentar KN terkait pelaksanaan Muktamar NU ke 34, Gus Fahmi hanya minta kita semua dan utamanya Pengurus NU memegang apa yang pernah disampaikan Gus Sholah, “Cukup dawuhnya Gus Sholah saja kita pegang untuk memperbaiki NU, kita semua harus kembali pada hati nurani, tinggalkan dan tanggalkan kepentingan pribadi. Berilah NU manfaat bukan memanfaatkan NU, apa yang disampaikan Gus Sholah ini yang harus kita pegang dan jalankan,” kata Gus Fahmi dengan nada kalem.
Cucu Pendiri NU KH. Hasyim Asy’ari ini pernah menyampaikan, bahwa menjadi pengurus NU itu tidak gampang banyak godaan, “Pengurus NU yang benar benar mengurusi NU, insyaAllah itulah yang dianggap santrinya mBah Hasyim, tetapi sekali lagi, menjadi koreksi kita semua janganlah memanfaatkan NU jika memang menjadi pengurus. Dan sekarang yang memprihatinkan telah menjadi rahasia umum, kalau menjadi Pengurus NU rebutan, tetapi kalau ngurusi NU singitan. Karena itu, saya mengajak semuanya untuk memegang teguh apa yang pernah disampaikan Gus Sholah kepada kita semua,” kata Gus Fahmi lagi.
Pengasuh PP Tebuireng Jombang ini, tetap konsisten berjuang agar NU tetap satu, seperti yang diamanatkan Gus Sholah pasca Muktamar 33 di Jombang. Almaghfurlah KH. Sholahuddin Wahid bersama Almaghfurlah KH. Hasyim Muzadi, pada waktu masih hidup beliau menggelar halaqoh diberbagai daerah guna menjelaskan bahwa NU dalam bahaya, namun meski demikian beliau berdua tetap tidak menginginkan ada dua NU. Kali ini perjuangan beliau berdua dilanjutkan oleh puluhan para masyayikh yang masih tetap konsisten dan diluar NU struktural salah satunya adalah KH. Fahmi Amrullah Hadizk atau Gus Fahmi.
Sebenarnya tidak sulit jika Masyayikh diluar struktural NU dan Gus Fahmi membuat wadah perjuangan baru, akan tetapi hal itu tidak dilakukan. Karena berbagai pertimbangan, salah satunya amanah dari Gus Sholah dan Kiai Hasyim Muzadi waktu itu. Karena itu, para Masyayikh NU kultural dan Gus Fahmi memilih mengetuk pintu hati masyayikh struktural NU, agar berusaha mengembalikan NU pada Khittahnya, “Yang kita lakukan sejak zamannya Gus Sholah dan Kiai Hasyim Muzadi adalah menjelaskan bahwa NU dalam bahaya, kita harus selamatkan NU dengan cara mengajak semua pengurus yang ada untuk kembali pada hati nurani paling dalam,” kata Gus Fahmi lagi.
Berbeda dengan Almaghfurlah KH. Aziz Masyhuri, dari Pondok Pesantren Al Aziziyyah Denanyar Jombang, Kiai Aziz kala itu mendesak masyayikh untuk menggelar munas Alim Ulama karena kondisi dan perkembangan NU menurut beiiau terkoyak koyak, “PBNU yang ada sekarang bukan malah mengkokohkan garis perjuangan NU, tetapi malah mengoyak-oyak apa yang telah ditetapkan oleh pendiri dan masyayikh NU, NU sudah melenceng jauh dari Khittahnya, para masyayikh harus bertindak secara kongkrit dalam rangka mengembalikan NU pada masa kejayaannya menyongsong 1 abad,” kata Almaghfurlah Kiai Aziz kalah itu. (mu)