Membedah Waktu Sholat Lail: Antara Tahajud, Sepertiga Malam, dan Keutamaan yang Tak Terbatas

Oleh: Gus Huda | NGOPI (Ngopeni Ati)

JOMBANG | KABARNAHDLIYIN.COM – Di antara amal unggulan yang sering disebut para ulama sebagai ‘mahkota ibadah malam’ adalah sholat lail, atau yang lebih dikenal dengan istilah sholat tahajud. Namun, tidak sedikit umat Islam yang masih bertanya-tanya: kapan sebenarnya waktu terbaik untuk mengerjakan sholat ini? Apakah harus tidur dulu? Bagaimana urutan sholat malam yang dianjurkan?

Tahajud atau Sholat Lail? Ini Perbedaannya

Secara istilah, sholat tahajud adalah sholat malam yang dikerjakan setelah bangun tidur, sementara sholat lail lebih umum: mencakup semua sholat sunah yang dikerjakan di malam hari, baik sebelum maupun sesudah tidur.

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menyebutkan bahwa tahajud berasal dari kata hajada yang berarti tidur, kemudian bangun untuk sholat. Maka, seseorang yang sholat di malam hari tanpa tidur terlebih dahulu tetap mendapatkan pahala sholat malam (qiyamul lail), meski secara terminologi tidak disebut tahajud.

Artinya, tidak perlu mempermasalahkan apakah sudah tidur atau belum, karena keduanya tetap berpahala besar. Namun, yang paling utama menurut mayoritas ulama adalah sholat setelah tidur, karena itulah yang dimaksud secara khusus dengan tahajud.

Waktu-Waktu Utama: Sepertiga Malam yang Manakah?

Dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri dijelaskan bahwa malam hari dapat dibagi menjadi tiga bagian:

1. Sepertiga malam pertama
2. Sepertiga malam kedua (tengah malam)
3. Sepertiga malam terakhir

Dari pembagian inilah muncul istilah “turunnya Allah ke langit dunia” (secara maknawi, bukan secara jasmani) pada sepertiga malam terakhir, sebagaimana sabda Nabi ﷺ dalam hadits sahih riwayat Bukhari-Muslim. Allah berfirman, “Adakah yang berdoa, maka akan Aku kabulkan; adakah yang meminta ampun, maka akan Aku ampuni.”

Menurut perhitungan ulama, waktu sepertiga malam terakhir dimulai sekitar jam 2 atau jam 3 dini hari hingga menjelang subuh, tergantung panjang pendeknya malam di suatu wilayah. Inilah waktu paling afdhal untuk bermunajat, memohon ampun, dan menyampaikan hajat.

Namun, jika seseorang melaksanakan sholat malam di sepertiga malam pertama atau kedua, tetaplah mendapat pahala yang besar. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyebut bahwa sholat malam di tengah malam adalah bagian dari kedisiplinan ruhani yang sangat dianjurkan.

Kutipan Kitab Bajuri tentang Sepertiga Malam dan Sholat Lail

“وَأَفْضَلُ أَوْقَاتِهِ – أَيْ صَلَاةِ اللَّيْلِ – الثُّلُثُ الأَخِيرُ مِنَ اللَّيْلِ، وَيَلِيهِ الوَسَطُ، ثُمَّ الأَوَّلُ”
Wa afdhalu awqātihi – ay ṣalātil-layl – ats-tsulutsul-ākhīru minal-layl, wa yalīhi al-wasaṭu, tsumma al-awwalu

Artimya
“Dan waktu yang paling utama untuk melaksanakan sholat malam adalah sepertiga malam yang terakhir, kemudian pertengahan malam, lalu sepertiga malam pertama.”

Dalam sebuah atsar disebutkan, “Barang siapa menutup sholat malamnya dengan witir, maka Allah akan mencatatnya sebagai orang yang berzikir di malam hari.”

Ada sebagian orang yang khawatir jika menunggu sepertiga malam terakhir justru membuat tubuh lelah dan tak kuat bangun. Dalam hal ini, para ulama membolehkan sholat malam dilakukan lebih awal, terutama setelah sholat Isya, agar tidak kehilangan kesempatan sama sekali.

Yang penting, niatnya tulus, waktunya malam, dan hatinya terarah kepada Allah. Karena hakikat dari qiyamul lail adalah menyendiri bersama Tuhan, saat dunia sedang lelap.

Dalam salah satu hikmah, disebut bahwa sholat malam adalah obat tanpa baterai, penawar tanpa resep, dan kekuatan tanpa batas. Barang siapa yang konsisten menjaganya, maka jiwanya akan kuat, hatinya tenang, dan pikirannya lapang.

Tak heran jika para salaf shaleh dahulu mengatakan, “Kami tidak pernah merasakan kelezatan ibadah seperti ketika bangun di sepertiga malam terakhir.” (Hadi)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *