KABAR NAHDLIYIN – Kondisi dan situasi sekarang ini tidak bisa dibuat santai menurut beberapa tokoh pejuang Islam di Jawa Timur, paling tidak peringatan tersebut disampaikan Kiai Misbakhul Mustofa yang akrab disapa Kiai Misbakh, Kita umat islam dituntut cerdas dan waspada selalu siap siaga dalam segala kondisi. bisa dibilang semua umat islam tanpa pandang bulu sudah tidak ada jalan lagi untuk memperjuangkan agama Allah kecuali minta pertolongan Allah SWT.
“Sekali lagi kita harus waspada sebab musuh islam itu sangat pandai dalam menggerogoti iman umat islam, mereka memakai macam macam cara, dengan cara pakai uang, dengan kedudukan dan kekuasaan, usaha memecah belah antar kaum Muslimin, juga ada pancingan pancingan guna melemahkan umat islam dalam mengerjakan ajaran islam,” kata Kiai Misbakhul Mustofa.
Karena itu, umat islam harus kompak atau bersatu salah satu caranya perbanyak membuat majelis dzikir, “Kita harus perbanyak majelis dzikir, agar secara maksimal dapat bersama sama menjalankan perintah rasulullah SAW, dalam waktu longgar maupun sempit kita perbanyak dzikir, agar ketika kita dalam keadaan sempit diberi pertolongan Allah, SWT,” himbaunya.
Ia lalu menjelaskan perlunya majelis dzikir dan meneladani para waliyullah dengan cara membaca manakibnya, “Amalan amalan sifat sifat para wali harus menjadi pedoman dan semaksimal mungkin kita tiru, tujuannya tidak lain mengamalkan sunnah nabi, karena barang siapa yang diberi iman yang kuat dan bisa mengikuti sunnah nabi, sungguh ia telah mendapat anugrah dapat selalu mendekatkan diri kepada Allah, ini pentingkan membaca manakib para wali, ” katanya.
Dikatakan, istilah Manakib adalah istilah jama’ yang artinya memiliki makna banyak, artinya manakib itu adalah sifat sifat atau perbuatan perbuatan yang utama bagi Allah SWT, yang menjadi sifat sifat atau kelakuan hamba Allah. Seperti manakib wali kutub Syekh Abdul Qodir Al Jaelani, artinya keterangan yang menerangkan sifat sifat dan kelakuhan bagus syekh Abdul Qodir Al Jaelani al Baghdati, “katanya lagi.
Ada ungkapan yang mengatakan, “Tirulah mereka, meskipun tidak bisa mencapai seperti mereka, karena meniru orang orang besar itu saja sudah suatu kemenangan, ”Dalam aktifitas keseharian semua munusia tidak terlepas dari guru, apapun bentuk kegiatan kita ada peraturan dan peradabannya, apalagi jika kita meniru atau membaca kitab kitab manakib para wali, salah satunya Manakib Kenjeng Syaikh Abdul Qodir Al Jaelani sudah barang tentu ada keistimewaan yang didapat dalam hati si pembaca,” tambah Kiai Asal Kabupaten Jombang.
Dikatakan, dalam kalangan ulama manakib memang bukan hanya milik Kanjeng Syeh Abdul Qodir Al Jaelani, banyak kitab kitab manakib yang menerangkan sifat sifat dan perbuatan bagus wali wali Allah yang lain, ada manakib wali kutub Akhmad Al Badawi, Wali Kutub Imam Rifai, Wali Kutub Imam Ibrahim Dasuqi, Wali Kutub Samsudin Al Khnafi dan Wali Kutub Abil Khasani Assadili dan lain lain.
“Umar Faruq dalam sebuah makolah pernah berkata : Hendaklah kalian mendengar cerita dan kisah tentang orang orang soleh yang memiliki keutamaan, karena hal itu termasuk dari kemuliaan, dan pada terkandung hikmah dan kenikmatan bagi jiwa, “ kutibnya dalam kitab Ainul Ada bwa As-Siyasah.
Sementara itu, dalam penelitian yang dilakukan Eric Geoffroy, Filsuf dan islamologist Prancis, menjelaskan bahwa makam Syekh Abdul Qadir Al-Jilani adalah makam kedua yang terpenting, dilihat dari sudut jumlah peziarah, sesudah makam Nabi Muhammad SAW dan beberapa anggota keluarganya.
Menurutnya, kompleks makam Syekh Abdul Qadir Al-Jilani merupakan makam yang paling menarik dan yang paling banyak dikunjungi di seluruh daerah yang ia teliti di Timur Tengah. Dia melakukan penelitihan makam Abdul Qadir Al-Jilani pada saat dirinya masih sebagai pengajar bahasa dan kebudayaan Arab di Sekolah Tentara Inteligen dan Studi Linguistik di Strasbourg, Prancis. Hasil penelitian itu dihimpun dan diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul “Le Culte Des Saints Dans Le Monde Musulman” (Bahasa Prancis) dan diterjemahkan oleh Jean Couteau dkk menjadi “Ziarah dan Wali di Dunia Islam” (2007).
“Najaf dan Karbala memang didatangi peziarah dalam jumlah yang sangat besar, tetapi sebagian besar pengunjung terdiri atas kaum Syiah, yang merupakan kelompok minoritas di Timur Tengah,” tutur Geoffroy. Selain itu, menurut dia, pola beragama dari orang-orang Irak lebih ekspansif dari pada orang-orang Suriah. “Oleh karenanya andaikan kami pilih melukiskan ziarah kubur Syekh Arslan di Damaskus pasti akan tampak sangat sederhana, dan bagaimanapun juga wali ini hanya dikenal secara regional atau bahkan lokal,” jelasnya.
Adapun tentang makam Ibn Arabi, katanya lagi, betapapun besarnya penghormatan umumnya peziarah kepada tokoh ini, peran yang dimilikinya terutama bersifat esoteris, yang terwujud melalui frekuensi penampakan dirinya, konon, pada sejumlah besar penduduk Damaskus. Di samping itu, kompleks makamnya yang relatif kecil dan sempit, hanya terisi sebuah masjid, sedangkan kompleks makam al-Jilani amat luas sebagaimana layaknya sebuah kompleks monumental.
Di Pusat Kota Baghdad Kompleks makam Syekh Abd al-Qadir al-Jilani (wafat 561 H/1166 M) terletak di pusat Kota Baghdad, tidak jauh dari jalan besar pusat perdagangan lama al-Rasyid. Letaknya di pusat kota itu tentu saja sangat mendukung ziarah kubur. Ini jika dibandingkan dengan Ahmad al-Rifa’i, pendiri besar aliran sufi di Irak lainnya, jumlah pengunjungnya tidak sebanyak al-Jilani. Kampung tempat al-Jilani dimakamkan dinamakan Bab al-Chaykh (pintu gerbang sang Syekh) sebagai penghormatan kepada sang Syekh, dan penduduk kampung itu, kaum Chayhiliyye, di mata masyarakat tampil sebagai penduduk asli Baghdad.
Kompleks makam terletak di lahan luas berbentuk segi empat yang dikelilingi oleh tembok berhiaskan lubang-lubang yang tingginya sekitar lima meter. Ada beberapa pintu masuk, salah satu di antaranya adalah gerbang utama. Dua Mihrab Ruangan makam Syekh Abdul Qadir berada di kiri gerbang utama dan di atasnya terdapat sebuah kubah dari tembikar berglasir warna biru. Ruangan itu berhubungan dengan sebuah zawiyah, tempat diadakan acara dzikir oleh kelompok Qadiri dari berbagai daerah.
Sebuah masjid yang megah berdiri di sebelahnya. Masjid itu memiliki dua mihrab, karena ada dua imam, yang satu beraliran Hanafi, dan yang lain beraliran Syafii. Menurut Geoffroy, imam-imam ini adalah pemuka agama di Kota Baghdad, dan para pengunjung dari luar sering berdesakan mendekati mereka sehabis salat untuk bersilaturahmi. Salah seorang dari kedua imam itu, Abd al-Karim al-Mudarris, adalah seorang ulama Kurdi yang pernah menjadi mufti besar Irak. Di halaman makam terdapat sebuah menara jam dan sebuah kolam untuk berwudlu, dua madrasah serta satu perpustakaan yang masih dikelola oleh pimpinan keluarga Jilani.
Beberapa gedung bertingkat ditata sebagai asrama, dan harus dicatat di sini besarnya kapasitas penginapan dan penyediaan makan bagi pengunjung. Peziarah memang datang dari seluruh dunia Islam. Namun orang-orang Turki yang paling sering mengunjungi kompleks al-Jilani dalam perjalanan haji ke Mekkah, ketika pulang mereka lalu mengunjungi kompleks makam Ibn Arabi di Damaskus. Selain itu, banyak pula peziarah yang datang dari India, dari Asia Tenggara, atau malah dari Maghribi dan Afrika Hitam. Maka jumlah orang Irak konon tidak lebih dari seperempat jumlah keseluruhan pengunjung kompleks yang datang untuk sholat Jumat.
Dengan demikian berbagai bangsa berbagi asrama: sejumlah penganut Qadiri ditanggung oleh wakaf setempat selama sebagian besar hidupnya. Ada pula yang tinggal di situ selama beberapa bulan atau hanya beberapa hari. Ribuan orang ditampung secara tetap di kompleks tersebut. (TIM)