Jombang, Tanah Lahir Dua Presiden, dari Rahim Pendidik.

Oleh: M Ikhsan Effendi

JOMBANG | KabarNahdliyin.com – Jombang bukan sekadar titik di peta Jawa Timur. Ia adalah tanah yang melahirkan dua presiden: Sukarno dan Abdurrahman Wahid. Dua tokoh besar, dua zaman berbeda, dari dua napas yang sama, seorang pendidik. Dari tanah inilah lahir bukan hanya pemimpin bangsa, tapi juga simbol bahwa pendidikan mampu melahirkan sejarah.

Sukarno kecil dengan nama Koesno, lahir 6 Juni 1902 di Ploso Jombang. Setelah dewasa diganti “Soekarno”, sesuai dengan perubahan nama yang tercatat di “Stamboek soerat asal oesoel bagi pegawai pemerintah kolonial”. Perubahan nama itu diajukan ayahnya untuk pengajuan pensiun dini sebagai onderwijzer di Blitar. Ayahnya, Raden Sukeni, adalah seorang guru sekolah dasar di sebuah kota kecil, Ploso. Dari tangan ayah pendidik itu, tertanam kecintaan pada ilmu, keberanian pada gagasan, dan tekad untuk memimpin Indonesia menuju kemerdekaan.

Gus Dur, lahir 7 September 1940, dari rahim keluarga pesantren. Ayahnya, KH. Abdul Wahid seorang guru pesantren, kakeknya KH Hasym Asy’ari adalah pendidik di pesantren dan pendiri organisasi terbesar NU. Dari ruang-ruang kitab kuning, Gus Dur belajar tentang keberagaman, toleransi, dan nilai kemanusiaan. Ia pun memimpin negeri ini dengan wajah Islam yang penuh senyum.

Dua presiden lahir dari tanah yang sama. Keduanya lahir dari ayah seorang pendidik. Dari sinilah kita menemukan simbol besar: pendidikan adalah rahim kepemimpinan.

Betapa besar arti pendidikan.

Jombang, saat ini dengan pesantren-pesantren yang jumlahnya lebih dari 200, yang pesantren besar seperti Tebuireng, Tambakberas, Darul Ulum, Denanyar, bukan hanya punya sejarah, tapi juga tanggung jawab. Sejarah telah melahirkan pemimpin besar tidak akan berhenti sebagai nostalgia. Ia adalah energi baru. Sejarah masa lalu itu telah menjelma ke dalam era pendidikan hari ini.

Realitasnya kemajuan saat ini masih ada terlihat anak putus sekolah karena ekonomi. Masih ada gizi buruk yang membuat anak-anak tidak bisa belajar maksimal. Masih banyak sekolah yang berdiri megah, tapi belum bisa dijangkau oleh anak cerdas yang dari ekonomi tidak mampu.

Seandainya jika setiap anak di Jombang hari ini mendapat kesempatan pendidikan yang sama, baik yang lahir dari keluarga petani di pelosok maupun keluarga ulama besar di pesantren. Jika sekolah-sekolah negeri, madrasah, dan pesantren bisa dijangkau oleh seluruh anak anak dari semua tingkatan ekonomi. Seandainya yang kekurangan difasilitasi dengan bantuan khusus untuk anak sekolah.
Maka dari tanah ini akan lahir bukan hanya dua presiden, tapi seratus, seribu pemimpin di berbagai bidang.

Diperlukan gerakan untuk memantik semangat anak bersekolah. Sebagian orantua yang kurang mampu untuk mendapatkan tunjangan biaya sekolah.

Peduli anak sekolah dari kalangan yang kurang beruntung untuk tetap semangat bisa bersekolah, adalah investasi masa depan bangsa. Anak-anak yang mendapat dukungan, baik berupa seragam, buku, gizi, maupun biaya sekolah, akan tumbuh dengan kesempatan yang sama. Mereka bukan hanya penerus keluarga, tapi calon pemimpin, guru, dokter, ulama, dan inovator negeri ini. Tanpa adanya kepedulian bersama, maka akan ada sebagian anak terjebak putus sekolah, kehilangan harapan, dan menjadi beban sosial. Dengan kepedulian anak sekolah, masyarakat diajak bergotong royong: memastikan untuk tidak ada lagi anak yang ditinggalkan dari pendidikan.

Kepedulian terhadap anak sekolah menjadi wujud nyata cinta tanah air membangun generasi emas sejak bangku sekolah.

Sukarno dan Gus Dur sudah memberi contoh. Keduanya lahir dari pendidikan. Keduanya menunjukkan bahwa pendidikan bisa menembus batas.
Dengan pendidikan, sejarah itu bisa terus berulang, melahirkan generasi baru pemimpin bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *