Oleh: M Ikhsan Effendi
JOMBANG | KabarNahdliyin.com – Orang Jombang lagi.
Tapi kali ini bukan sekadar orang Jombang. Menteri Haji dan Umroh yang baru, KH Irfan Yusuf. Cucu pendiri NU. Cucu Hadrotu Syeh KH Hasyim Asy’ari dari Tebuireng.
Nama itu tidak bisa disepelekan. Bagi warga Jawa Timur, Tebuireng itu bukan hanya pesantren. Itu simbol. Itu mercusuar.
Maka ketika Gus Irfan masuk jajaran Partai Gerindra, banyak aktivis di Jawa Timur yang tadinya kaku langsung lumer. Yang biasanya gengsi masuk partai nasionalis, tiba-tiba tidak sungkan. “Lho, Gus Irfan wae melu, yo wis ora popo,” kira-kira begitu.
Inilah kekhasan politik Jawa Timur: religius, tapi egaliter. Kalau tokoh pesantren turun, santrinya ikut. Kalau cucu pendiri NU angkat tangan, banyak yang berani angkat kaki.
Saya menyaksikan pasar di Jombang. Pedagang biasanya menunggu siapa yang membuka kios duluan. Begitu ada pedagang besar buka, kios-kios kecil ikut buka. Tidak peduli harga cabai sedang turun atau naik. Semangat ikut itu kuat sekali.
Begitu pula di politik. Gus Irfan itu seperti pedagang besar. Buka kios duluan. Maka para aktivis, alumni pesantren, dan penggerak sosial pun ikut buka kios politiknya.
Gerindra tentu tahu betul daya magnet itu. Politik Jawa Timur ini memang rumit. Ada NU, ada kiai, ada pesantren, ada kultur santri. Tapi juga ada arek arek, ada nasionalis, ada tradisi egaliter. Kadang benturan, kadang saling isi.
Masuknya Gus Irfan ke Gerindra seperti menaruh minyak wangi di tengah pasar. Bau politik yang biasanya amis, tiba-tiba jadi harum. Tidak semua suka politik, tentu. Tapi banyak yang jadi merasa nyaman.
Sekarang posisi Gus Irfan bukan sekadar kader biasa. Adalah Menteri Haji dan Umroh. Jabatan baru, kementerian baru, menteri yang langsung kena atensi bersentuhan dengan umat. Urusan haji dan umroh itu urusan hati. Kalau hati sudah tersentuh, jalan politik bisa lebih lapang.
Politik Jawa Timur itu memiliki ke khas an yang sederhana, siapa bisa bikin nyaman, dia yang diikuti. Siapa bikin ruwet, dia ditinggalkan. Gus Irfan selain cerdas juga punya modal nama besar keluarga, akar pesantren, dan sekarang jadi mesin partai.
Apakah ini akan membuat Gerindra makin kuat di Jawa Timur? Besar kemungkinan iya. Apalagi Gerindra sedang butuh figur religius di basis NU.
Yang jelas, Jawa Timur tidak pernah bisa dipisahkan dari pesantren. Dan Gus Irfan, dengan Tebuireng di belakangnya, bisa jadi jembatan antara santri dan partai nasionalis.
Kalau dulu orang bilang politik itu kotor, di Jawa Timur politik bisa seperti tahlilan. Kalau sudah ada kiai yang memimpin, semua merasa lebih tenang ikut baca doa.
Dan kali ini, doa itu sedang dipimpin gus dari Jombang. (Hadi)