Oleh: Ikhsan Effendi
JOMBANG | KabarNahdliyin.com – Gerhana rembulan kembali menyapa langit kita. Bulan yang mestinya bundar sempurna, tiba-tiba terbungkus bayang-bayang bumi. Gelap. Sayup. Namun tetap indah. Orang Jawa dulu membaca fenomena ini dengan cara yang khas. Gerhana bukan sekadar astronomi. Ia adalah tanda. Bayangan kosmis bahwa sebesar apa pun cahaya, pasti ada saatnya tertutup gelap. Tetapi gelap itu hanya sementara.
Di pesantren, dimasjid kampung, anak-anak kecil diajarkan shalat gerhana. Islam mengajarkan bahwa gerhana tidak boleh ditakuti, tetapi direnungi. Rasulullah tidak menyambungkan gerhana dengan kelahiran atau kematian siapa pun. Beliau hanya menjadikannya momen kontemplasi, betapa kecilnya manusia di hadapan semesta. Juga betapa kecilnya kasus Syahroni, Eko Patriyo, dibanding negeri bumi pertiwi.
Filsafat Jawa punya tafsir berbeda. Gerhana adalah teguran: manunggaling cahya lan peteng. Pertemuan terang dan gelap. Hidup itu bukan hitam-putih. Ada ruang abu-abu. Ada gejolak, ada tangis, ada tawa. Ada demo, ada yang dapat jarahan. Ada masa terang yang mendadak suram. Ada suram yang sebentar lagi terang kembali. Orang Jawa tidak panik. Mereka “ngeli tanpa keli”, mengikuti arus zaman, tapi tidak hanyut di dalamnya.
Indonesia hari ini, gerhana itu mirip politik kita. Bayangan-bayangan kecurigaan, perpecahan, hingga rumor kekuasaan menutup sinar rembulan demokrasi. Rakyat kebingungan, siapa yang benar, siapa yang sekadar pencitraan? Media sosial jadi medan perang. Kata-kata lebih tajam dari pedang. Semua tampak gelap.
Tapi seperti gerhana, kegelapan itu ada ujungnya. Kita tidak boleh kehilangan akal sehat. Kita tidak boleh larut dalam hoaks dan kemarahan. Yang demo akan segera usai, bersamaan biaya yang semakin menipis. Seperti juga demo di surabaya, ditunda karena beberapa alasan. Politik memang penuh bayang-bayang. Namun, bulan akan kembali bersinar. Selalu begitu sejak zaman Nabi Adam sampai era digital ini.
Gerhana juga mengajarkan jarak. Bulan tidak hilang, hanya tertutup sebentar. Sama seperti harapan bangsa ini. Jangan pernah bilang negeri ini gelap gulita. Cahaya itu tetap ada, meski tertutup bayang-bayang konflik. Tugas kita hanya bersabar. Dan tentu bekerja. Karena bulan tidak mungkin bisa bersinar lagi kalau bumi berhenti berputar.
Gerhana adalah metafora bahwa negeri ini tidak sedang kiamat. Ia hanya sedang diuji. Kegelapan politik, ekonomi, dan sosial adalah bayangan sementara. Seperti pesan orang Jawa: “peteng dudu pungkasaning dalan.” Gelap bukan akhir jalan. Ia hanya bagian perjalanan menuju fajar.
Maka mari belajar dari gerhana. Jangan larut dalam gelap. Jangan pula lupa bahwa cahaya akan kembali. (Hadi)












