Tinjauan dari Kiai-Kiai Nahdlatul Ulama
Oleh: HM Ikhsan Effendi Yusuf
PP Hidayatul Qur’an, Diwek – Jombang
JOMBANG | KABARNAHDLIYIN.COM — Menjelang 10 Agustus 2025, wacana publik Nahdliyin diwarnai perbincangan hangat terkait rencana kegiatan bertajuk “Dzikir Kebangsaan” di Masjid Istiqlal, Jakarta. Acara ini digelar oleh organisasi bernama Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Aswaja (JATMA) yang dipimpin Lutfi bin Yahya.
Sekilas, nama organisasi ini sangat mirip dengan JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah), badan resmi Nahdlatul Ulama (NU) di bidang tarekat di bawah naungan PBNU. Persamaan nama dan istilah ini berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan warga NU, terutama di lapisan akar rumput yang belum memahami perbedaan struktur, otoritas, dan legitimasi organisasi keagamaan.
Pandangan Kiai-Kiai NU
Bagi para kiai NU, perkembangan ini bukan sekadar soal ritual zikir berjamaah, melainkan menyangkut sanad, otoritas keilmuan, dan tanggung jawab spiritual terhadap umat.
Kiai-kiai sepuh seperti KH Mustofa Bisri, KH Miftachul Akhyar, dan KH Chalwani menekankan bahwa menjaga marwah NU tidak hanya pada aspek administratif, tetapi juga pada manhaj (metodologi) keagamaan. JATMAN yang berdiri sejak lebih dari enam dekade memiliki akar sanad tasawuf yang jelas dan bersambung pada tarekat mu’tabarah yang diakui dunia Islam.
Sebaliknya, posisi dan hubungan sanad JATMA terhadap lembaga tarekat nasional maupun internasional yang diakui NU dinilai belum jelas.
Instruksi PCNU Pekalongan
Sikap hati-hati juga ditunjukkan PCNU Pekalongan dengan menginstruksikan agar warga yang hadir ke acara Istiqlal tidak membawa atribut NU. Instruksi ini bertujuan menghindari klaim simbolik seolah-olah acara tersebut berada di bawah restu PBNU.
Kiai memahami, di era banjir informasi ini, logo, bendera, hingga sorban hijau NU dapat dengan mudah digunakan untuk menjustifikasi klaim keagamaan. Karena itu, pembatasan atribut menjadi langkah preventif agar identitas dan otoritas NU tidak dicatut.
Potensi Perpecahan
Jika dibiarkan tanpa klarifikasi, kemiripan nama dan agenda dua organisasi ini dikhawatirkan memicu perpecahan internal umat, khususnya di kalangan pengamal tarekat. Dalam tradisi Nahdliyin, sanad keilmuan adalah hal sakral yang tidak boleh dipalsukan atau dimanipulasi.
Bagi para kiai, tarekat bukan sekadar forum zikir, melainkan pendidikan ruhani yang membutuhkan bimbingan mursyid mu’tabar. Maka, acara yang lahir di luar struktur NU namun memakai simbol serupa berpotensi disalahpahami sebagai gerakan tandingan yang menggerus otoritas ulama.
Imbauan Kiai
Dari perspektif etika dan strategi, kegiatan JATMA di Istiqlal memunculkan problem serius. Hak berkumpul dan beribadah memang dijamin konstitusi, namun penggunaan nama dan simbol mirip lembaga resmi NU dinilai rawan menyesatkan umat dan merusak tatanan sanad keilmuan yang dijaga turun-temurun.
Para kiai menyerukan agar umat waspada terhadap pencatutan simbol keagamaan, bertanya kepada guru yang jelas sanadnya, dan tidak mudah terbawa arus spiritualitas yang belum jelas pijakan ilmunya.
“Kegiatan spiritual harus tetap berada dalam bingkai adab, sanad, dan kelembagaan yang sah, agar tidak menimbulkan fitnah dan perpecahan di tengah umat,” tegas para kiai.






