Oleh M Ikhsan Effendi
Sejarah Indonesia punya caranya sendiri untuk bercanda. Kadang yang dulu dianggap lawan, sekarang disanjung bersama. Begitu pula ketika negara memberi gelar Pahlawan Nasional kepada dua nama yang dulu berdiri di dua kutub berbeda: Jenderal Besar HM Soeharto dan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Soeharto adalah militer sejati. Diam, tenang, dan penuh kalkulasi. Ia jarang bicara, tapi sekali bicara, kebijakan bisa berubah arah. Ia membangun Indonesia dengan tangan besi dan disiplin baja. Jalan tol, irigasi, industri, semuanya lahir di bawah komandonya. Ia mengubah negeri agraris menjadi ekonomi modern, walau di sisi lain menuntut ketaatan tanpa banyak tanya. Di masa Orde Baru, stabilitas adalah mantra. Demokrasi? Itu urusan nanti.
Gus Dur datang seperti badai yang tertawa. Ia mengguncang semua “pakem” politik lama. Tidak ada yang kebal dari candaannya, bahkan dirinya sendiri. Kalau Soeharto menata negara dengan senyum yang disembunyikan, Gus Dur menata bangsa dengan tawa yang terbuka. Ia percaya, tawa bisa melucuti ketegangan politik yang menahun. Ia bicara tentang kemanusiaan, pluralisme, dan kebebasan berkeyakinan, ketika banyak orang masih takut mengucapkannya di ruang publik.
Soeharto memerintah tiga dekade. Gus Dur hanya kurang dari dua tahun. Tapi pengaruh Gus Dur seperti mata air yang terus memancar, bahkan setelah ia wafat. Ia tak membangun gedung tinggi atau jalan lebar, tapi ia membangun ruang di hati bangsa ini tempat kita bisa merasa setara meski berbeda.
Keduanya sama-sama kontroversial. Sama-sama dikritik. Sama-sama disalahpahami. Tapi itulah tanda orang besar. Mereka tidak hidup untuk menyenangkan semua orang, mereka hidup untuk membuat perubahan.
Saya memperkirakan: kalau Soeharto dan Gus Dur bertemu di satu ruang makan, mungkin awalnya akan kaku. Soeharto menatap diam, Gus Dur melontarkan lelucon. Tapi lima menit kemudian, keduanya pasti tertawa. Karena di balik perbedaanya, keduanya punya satu kesamaan: cinta kepada Indonesia.
Soeharto mencintai Indonesia dengan cara menjaga ketertiban. Gus Dur mencintai Indonesia dengan cara membuka kebebasan. Dua cara yang tampak berlawanan, tapi sebenarnya saling melengkapi. Tanpa ketertiban, kebebasan bisa jadi kacau. Tanpa kebebasan, ketertiban bisa jadi penindasan.
Maka ketika negara akhirnya memberi mereka gelar yang sama, sejarah seperti menarik napas lega. Kita belajar bahwa bangsa ini tumbuh bukan hanya dari satu wajah kekuasaan. Ia tumbuh dari tangan yang kuat dan hati yang lembut. Dari strategi seorang jenderal, dan doa seorang kiai.
Kini, keduanya telah menjadi bagian dari legenda bangsa. Soeharto dengan pembangunan dan stabilitasnya. Gus Dur dengan kebebasan dan kemanusiaannya. Dua sisi mata uang yang sama Indonesia.
Dan mungkin, dari langit sana, Gus Dur sedang bercanda:
“Pak Harto, akhirnya kita sepanggung juga, ya.”












