MALANG, KN – Bicara NU tentu tidak lepas membicarakan masyayikh pendiri NU terutama almaghfurlah KH. Hasyim Asy’ari, apalagi menjelang Muktamar NU ke 34 kali ini, ribuan bahkan jutaan warga NU melihat dan mengamati jalannya pra Muktamar kali ini, mulai digelarnya Munas, penentuan tempat, kapan dihelatnya Muktamar, sampai dengan maju – mundurnya pelaksanaan Muktamar itu sendiri. Hingga proses Muktamar itu sampai menjadi persoalan hukum positif, semua tidak lepas dari perhatian sebagian besar warga NU.
Kabar Nahadliyin (KN) sebagai pengabdi penyalur informasi, yang lahir pasca Muktamar NU ke 33 di Alun – alun Jombang, kini dihuni tunas tunas muda NU. KN juga ingin selalu berkhidmat melalui bidang jurnalistik meskipun kelas Jamaah paling bawah. Pada penghujung tahun 2021 KN menulis laporan berjudul “Ber-NU ala Pendekar Pagar Nusa” dengan berbagai komentar para tokoh masyarakat, Ulama, Kiai, Habaib yang memiliki kepedulian mengembalikan kemurnian NU seperti yang telah digariskan para Masyayikh bersama KH. Hasyim Asy’ari. Berikut laporan pertamanya bersama KH. Luthfi Bashori, Pengasuh Pondok Pesantren Ribath Al Murtadla Al Islami Singosari Malang, terkait gaya khas kultur dalam ber-NU.
Menurut Kiai Luthfi Bashori atau yang akrab disapa Gus Luthfi, kultur dalam ber-NU bagi warga NU itu sangat khas, yakni warga NU selalu mengutamakan kedekatan dengan para masyayikh NU itu sendiri, meski tidak dekat secara fisik tetapi warga NU biasanya selalu berusaha dekat secara bathin. Ada keyakinan dan taat kepada kiai atau pendiri NU, atau mengutamakan keikhlasan dan ridlo sang masyayikh atau guru, “Kalau di Pondok itu seperti Kiai dan Santri, karena warga NU selalu ingin dekat dengan Kiai meski tidak secara fisik, tetapi Warga NU selalu dekat secara bathin dengan Kiainya,” katanya.
Tidak hanya itu, lanjutnya, dalam ber-NU warga NU selalu konsultasi berbagai persoalan kepada Kiainya, sehingga gerak langkah kiai dan warga NU selalu seirama, “Istilahnya warga NU selalu minta pertimbangan, izin atau ridlo kepada Kiai ketika akan melakukan sebuah kegiatan teramat penting, bahkan tidak hanya warga NU yang melakukan hal seperti itu, Kiai sama Kiai juga melalukan hal itu, budaya ber-NU memang begitu sejak dahulu kala, memang ini masalah keyakinan khususnya bagi warga NU, seperti hal nya kita meyakinan Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai cara malaksanakan ajaran islam,” lanjutnya.
Dikatakan lagi, di Pondok Pesantren NU selalu membaca kitab Ta’lim, dalam kitab tersebut diajarkan bagaimana pentingnya izin atau ridlo seorang guru terhadap muridnya, dan juga seorang Syekh kepada jamaahnya, “Disebutkan disana, sesungguhnya orang yang mencari ilmu itu tidak akan memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan ilmu beserta ahlinya maksudnya ulamanya dan menghormati gurunya yaitu syekhnya, kalau dalam organisasi yang memuliakan pendirinya begitu,” katanya lagi.
Nah sekarang tambahnya, bagaimana yang kita lihat di NU, “Ilmu yang didapati dari pendiri NU tidak akan memberi manfaat jika para pengurus NU tidak bisa memuliakan ilmu sekaligus pendiri-NU-nya, KH. Hasyim Asy’ari sendiri yang mengatakan barangsiapa yang berkhidmat kepada NU maka saya akui sebagai santriku. Makanya, melihat perkembangan NU sekarang ini kita perlu bicara dari hati ke hati, di mana saja kita harus bicara, kalau bahasa medsos-nya kita berisik yang baik di mana saja, terkait dengan permasalahan keselamatan jamiyah NU, kalau kita diam, maka orang-orang yang jahat atau oknum-oknum yang jahat di kalangan NU itu akan terus mengembangkan keburukannya dan masyarakat yang tidak tahu akan menganggap bahwa keburukan perilaku oknum-oknum dari pengurus NU itu dianggap semuanya baik dan benar begitu. Tetapi kita sebagai warga NU, terutama anjuran saya pada kiai, para ulama, hendaklah berbicara sesuai dengan syariat, jadi kita harus kontrol, bagaimana mulai PBNU sampai kepengurusan kebawah,“ tambahnya lagi.
Sementara itu, para tokoh NU kultural yang sempat berkumpul di Padepokan Pagar Nusa Trowulan Mojokerto (27/11) lalu, tepatnya di Jl Pendopo Agung No 9 Trowulan Mojokerto. Sempat juga membicarakan perkembangan NU kedepan, para tokoh yang terdiri dari para Kiai dan Gus dari berbagai Daerah di Jawa Timur tersebut, dikomandani oleh KH. Imron Rosjadi, Pengasuh Pondok Pesantren Al Mimbar Sambong Jombang. Bertemunya para tokoh ini diberi tajuk “Mantan Tim Sukses Khofifah – Emil Dardak” (MTSKED).
“Karena MTSKED kebanyakan dari kalangan warga NU dan Kiai NU maka insyaallah, Pokok bahasannya pada pertemuan berikutnya bukan MTSKED lagi, tetapi yang paling penting kita bisa melihat bagaimana ber NU ala Pendekar Pagar Nusa, mungkin seperti itu, kita lihat perkembangannya, intinya kita ingin kumpulkan para Pendekar NU khususnya yang ada di Pagar Nusa sebagai salah satu penguat barisan NU Kultural,” kata Abah Rosjadi dengan gaya khasnya.