Jombang, KN – Masih menurut KH. Imron Rosjadi, sesepuh NU Jombang ini mengatakan, tanpa mengurangi rasa hormat kapada Pengurus NU disemua tingkatan, khususnya PBNU yang sekarang mau menggelar Muktamar NU ke 34, ia berharap para pengurus NU, ber-NU seperti yang dilakukan warga NU di desa – desa, dan seperti halnya pendekar Pagar Nusa dalam ber-NU dilakukan tanpa pamrih, “Khususnya Pagar Nusa telah menunjukkan rasa khidmatnya kepada NU yang sesungguhnya, bahkan tidak jarang ada warga NU yang berfikir NU tanpa ada pengurus struktural kegiatan NU sudah berjalan, buktinya yasinan, tahlilan, istighotsah, diba’an pengajian rutin, sama sekali tidak terpengaruh dengan maju dan mundurnya pelaksanaan Muktamar NU, rutinitas warga NU dan Pagar Nusa tetap berjalan, kalau begitu Pengurus NU atau PBNU ngurusin apa,” kata Abah Rosjadi dengan tanda tanya.
Mantan Pengurus GP Ansor era 80 an ini lalu menjelaskan, kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh warga NU dan Pagar Nusa, “Selama ini warga NU dan Pendekar Pagar Nusa tidak pernah mempermasalahkan kiprah PBNU, cuman yang sangat disayangkan banyak statement– statement PBNU yang kerap membingungkan warga NU, untuk itu sekarang para pendekar Pagar Nusa harus turun gunung, kita dorong menjadi penjaga NU sekaligus menjadi contoh, Pendekar Pagar Nusa harus mau bergerak agak ketengah, dahulu zamannya Gus Maksum, salah satu Tokoh dan Kiai juga Pendekar Pagar Nusa disegani lawan maupun kawan, mari sekarang para Pendekar Pagar Nusa ambil bagian dalam struktur kepengurusan NU agar marwah NU tetap terjaga,” jelas Kiai Rosjadi.
Disisi lain, tambah Kiai Rosjadi, sekarang ini hampir tak ada atau tidak mau muncul tokoh yang memiliki ketajaman hati dan pikiran seperti Hadratusyikh KH Hasyim Asy’ari, KH. Hasyim Muzadi dan Gus Maksum Lirboyo, “Saya kira di Pagar Nusa masih ada tokoh tokoh sekelas para pendahulu kita, cuman persoalannya tidak mau tampil kepermukaan, Pagar Nusa harus mau memprakarsai untuk tampil kepermukaan,” tambahnya.
Stuasi sekarang memang sangat berbeda dengan kondisi 10 tahun lalu, lanjutnya, “Kita sebagai warga NU harus mau merenung dan belajar dari pengalaman, kekuatan dan persatuan di NU harus dipertahankan karena NU menurut para Ulama punjernya NKRI, kita jangan mudah diadudomba, kalau kita rasakan kekuatan Negara kita ini tinggal dua yakni, TNI/POLRI dan Umat ISLAM, TNI/POLRI kalau sampai bisa diadudomba maka negara dalam keadaan berbahaya, demikian juga Umat Islam, dimana ormas Islam yang besar ini jika berhasil diadudomba maka bisa hancur Negara ini,” lanjutnya dengan mimik serius.
Diumpamakan, tambahnya lagi, ibarat burung sayap satunya sakit maka tidak akan bisa terbang, “Ibarat Burung mempunyai dua sayap jika salah satunya patah otomatis tidak bisa kemana mana, ormas Islam terbesar itu adalah NU dan Muhammadiyah, karenanya mari sesama Muslim maupun Muslimah kita kembali kepada Allah dan sunnah Rasul, agar negara kita selalu dijaga dan salalu diberi pertolongan oleh Allah SWT, sekali lagi mari kita merenung dan belajar dari pengalaman masa lalu,” tambahnya lagi.
Berbeda dengan Gus Luthfi dalam melihat perkembangan NU sekarang, menurutnya ada dua macam santri jika NU diibaratkan Pesantren, ada santri yang taat dan ada yang tidak taat, “Dalam memilhat perkembangan NU sekarang, mungkin kita bisa ibaratkan di lingkungan Pesantren, di Pesantren ada dua macam santri, ada murid atau santri yang benar-benar ikhlas atau berbakti kepada gurunya, tetapi ada juga murid yang durhaka. Nah, kalau keberkahan ilmu dari mBah Hasyim Asy’ari tidak didapatkan oleh pengikutnya dikhawatirkan murid atau santri bahkan jamaahnya atau pengikutnya itu menjadi pengikut yang durhaka, karena melawan apa yang telah digariskan oleh mBah Hasyim Asy’ari begitu kurang lebihnya,” kata Gus Luthfi.
Lebih lanjut dijelaskan, sebagian besar warga NU melihat dan bisa menilai bagaimana para pengurus PBNU dalam mengelola NU, “Seperti contoh tokoh-tokoh NU, khususnya yang ada di PBNU sudah cocok dengan akidah ahlussunnah wal jamaah atau belum, jika kita membaca buku karya mBah Hasyim Asy’ari yang dikumpulkan oleh PBNU sendiri, apakah perilaku gandrung dengan orang-orang Kristen itu bisa dibenarkan, dengan pendeta berangkulan bahkan juga mengucapkan selamat natal bahkan ikut ke gereja dengan mengirim santri-santrinya untuk berkolaborasi dengan acara misa gereja untuk natalan , otomatis yang Kristen menyanyikan lagu lagu rohania mereka, kemudian bantuan dari santri-santri, kiai NU menyumbang lagu Qasidah, isinya sholawat, Ya Lal Wathon dan sebagainya itu kalau kita timbang dari segi akidah kita bagaimana, apakah pantas, ini juga harus menjadi perhatian kita agar akidah warga NU tidak terancam,” lanjutnya.