Amplop, Kyai, dan Cara Media Menggoreng Kesalehan

Oleh: M Ikhsan Effendi

JOMBANG | KabarNahdliyin.com – Saya heran dengan cara media televisi mengelola rasa. Ada seorang kyai, yang menerima amplop dari santrinya. Disorot kamera. Lalu reporter Trans7 menarasikan dengan nada tajam: “Santrinya sampai ngesot memberikan amplop. Inikah sebab sang kyai semakin kaya raya?”

Kalimat itu tajam, nadanya menusuk. Ia bukan sekadar deskripsi, tapi insinuasi. Ia ingin menanamkan persepsi: kyai kaya karena amplop santri. Seolah tidak ada spiritualitas, tidak ada adab, tidak ada makna simbolik di baliknya.

Padahal, dalam dunia pesantren, amplop itu bukan transaksi. Itu tradisi. Kadang isinya uang, kadang hanya doa. Kadang cuma simbol bakti. Santri yang ngesot itu bukan karena diperintah, tapi karena rasa hormat. Ia tidak sedang menghinakan diri, namun sedang menempatkan dirinya di hadapan guru yang ia anggap sumber ilmu dan cahaya hidup.

Media yang tidak paham kultur akan selalu keliru menafsirkan gesture. Itulah salahsatu penyakit pemikiran: tergesa menyimpulkan tanpa memahami konteks.

Lihat saja akibatnya. Video itu menyebar cepat. Komentar-komentar muncul di media sosial: “Inilah bukti kyai hanya cari duit.” “Agama dijadikan bisnis.” “Santri bodoh.” Dan ribuan kalimat sejenis, mengalir deras seperti air got yang pecah saluran.

Padahal, siapa pun yang pernah hidup di pesantren tahu: kyai sering justru memberi lebih banyak daripada menerima. Rumahnya boleh megah, tapi dapurnya terbuka untuk tamu 24 jam. Santri, fakir miskin, warga kampung semua makan di situ tanpa ditanya. Banyak kyai kaya karena keberkahan, bukan karena amplop.

Provokasi visual itu sudah bekerja. Media massa punya kekuatan: satu potongan kalimat bisa merusak reputasi puluhan tahun keteladanan. Bisa jadi atas peristiwa Trans7 ini akan ada counter balasan dari pihak pecinta pesantren untuk memboikot Trans7.

Saya tidak ingin menuduh Trans7 sengaja menebar kebencian. Setelah video diamati, ada kecerobohan dalam menyusun narasi. Wartawan yang baik seharusnya punya sensitivitas budaya. Ia tidak boleh menonton dengan mata orang luar, tapi dengan hati yang berusaha memahami lebih dalam.

Di sisi lain, ini juga ujian bagi kalangan pesantren. Pesantren sebaiknya mulai pandai menjelaskan dirinya sendiri, agar tidak terus-menerus disalahpahami. Amplop, bagi orang pesantren, mungkin hanya adab. Tapi di mata publik kota yang terbiasa dengan logika materi, itu bisa dibaca lain. Maka, penjelasan perlu diberikan. Tanpa marah, tanpa benci. Cukup dengan ketenangan khas pesantren: lembut tapi menohok.

Dan kalaupun reporter Trans7 itu belum mengerti, mungkin ia perlu sedikit mengaji, bukan mengaji di studio, tapi di serambi pondok. Agar tahu: bahwa, yang terlihat sebagai amplop hanyalah jembatan antara cinta murid dan keberkahan guru. (Hadi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *