Kepastian MBG: Antara Rumor, Kasus, dan Harapan Besar

Oleh: M Ikhsan Effendi

Dalam setiap kebijakan publik, ada detak jantung yang berdenyut di dua sisi. Di satu sisi adalah niat luhur pemerintah untuk menghadirkan keadilan. Di sisi lain, ada realitas lapangan yang kadang berbelok dari tujuan awal. Begitulah yang disaksikan tentang program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Rumor sempat beredar, MBG akan diganti. Ada yang menyebut dengan uang saku. Ada yang mengusulkan dalam bentuk beras yang langsung diterima orang tua. Narasi itu bergulir deras, seolah memberi kepastian baru. Tetapi pada akhirnya, Menteri Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, menegaskan: “MBG tetap dijalankan.” Jawaban ini menjadi jaminan penting di tengah badai media masa.

Mengapa isu ini begitu mengemuka? Karena di lapangan, kita menyaksikan berbagai problem pelayanan. Ada kasus siswa keracunan di sebuah kabupaten karena katering lalai menjaga higienitas. Ada pula keterlambatan distribusi, sehingga makanan sampai di sekolah sudah tidak layak saji. Di beberapa daerah lain, menu MBG yang seharusnya bergizi malah miskin variasi. Ditemukan nasi bungkus dengan lauk seadanya, jauh dari standar gizi seimbang.

Temuan kasus ini menyulut kegelisahan publik. Orang tua murid bertanya-tanya: apakah program mulia ini akan berakhir tragis, hanya meninggalkan catatan buruk? Dunia usaha pun cemas. Supplier katering lokal yang sudah menata bisnisnya demi MBG khawatir kehilangan pasar.

Namun, kepastian yang diberikan oleh pemerintah justru menjadi titik terang. MBG tidak dihentikan, tidak dialihkan, tapi diperbaiki. Di sinilah letak pentingnya kebijakan publik: bukan mengganti karena masalah, tetapi memperbaiki sistem agar masalah tidak berulang.

Bisa dirasakan jika benar diganti dengan uang saku. Maka akan muncul problem baru: apakah uang itu benar-benar dipakai anak untuk membeli makanan bergizi? Atau malah tersedot untuk kebutuhan lain yang tidak ada hubungannya dengan gizi? Begitu pula jika diganti dengan beras. Tidak ada jaminan beras itu akan diolah dengan menu seimbang. Bisa jadi malah dijual kembali, dan niat besar program pun sirna.

Dengan MBG tetap berjalan, masyarakat mendapat kepastian. Dunia usaha dari katering sekolah, petani sayur, pedagang telur hingga produsen daging ayam, juga mendapat kepastian pasar. Program pemerintah bukan hanya hadir sebagai janji politik, tapi menjadi ekosistem ekonomi. MBG bukan sekadar makan siang gratis, tapi juga perputaran roda keuangan yang nyata.

Setiap kebijakan pasti punya cerita yang mengalir. MBG adalah perjalanan tentang anak-anak bangsa yang tidak boleh lagi belajar dengan perut kosong. Tentang ibu-ibu yang lega melihat anaknya pulang sekolah dengan perut kenyang. Tentang petani lokal yang panennya terbeli oleh sistem.

Kasus kesalahan yang terjadi adalah peringatan, bukan alasan menghentikan program. Ada tindakan untuk memperbaiki distribusi, memperketat pengawasan, dan meningkatkan standar gizi bekerjasama dengan instansi terkait. Kepastian yang disampaikan Muhaimin adalah sebuah jaminan: MBG tidak boleh terhenti.

Masyarakat kini menunggu satu hal: konsistensi. Agar alternatif baru tidak lagi menenggelamkan fakta. Agar kasus tidak lagi lebih dominan dari keberhasilan. Dan agar MBG benar-benar menjadi warisan kebijakan publik yang tidak hanya dikenang, tapi dirasakan manfaatnya lintas generasi. (Had)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *