Oleh: M Ikhsan Effendi
Hari ini kita saksikan Ithlaq Hari Santri Nasional. Tahun 2025, di Tebuireng. Sepuluh tahun yang lalu setelah Presiden Joko Widodo menetapkannya Hari Santri, tiap tahun pesantren adakan peringatan. Tapi setiap tahun, rasa-rasanya Hari Santri bukan sekadar acara seremonial. Santri itu selalu hidup, di mana saja, kapan saja.
Teringat, dulu santri identik dengan sarung, kitab kuning, dan pondok pesantren yang sederhana. Listrik kadang byarpet. Kamar tidur sempit, kipas angin pun jarang. Makanan cukup seadanya. Santri belajar menghafal kitab di bawah temaram lampu minyak.
Sekarang, 2025, pemandangan itu tidak sepenuhnya hilang. Masih ada pondok-pondok tradisional yang setia dengan kesahajaannya. Santri generasi baru sudah pegang laptop, smartphone, bahkan sebagian sudah belajar coding, artificial intelligence, dan bahasa asing. Santri bukan saja hanya ahli tafsir dan fikih, tetapi juga paham dunia digital.
Rasanya senang menyebut, santri adalah potret rakyat dalam ukuran di pesantren. Bisa disaksikan: mereka hidup bersama dari berbagai latar belakang. Ada yang kaya, ada yang sangat miskin. Ada yang anak pejabat, ada yang anak petani. Semua tidur di lantai yang sama. Semua makan lauk sederhana yang sama. Kalau di pesantren, equality itu nyata. Demokrasi itu dipraktikkan jauh sebelum generasi Z belajar teori politik di universitas.
Santri terkini juga momentum untuk mengingatkan: santri bukan hanya penjaga agama, namun juga sebagai penjaga bangsa. Dari Resolusi Jihad 1945, masyarakat tahu bagaimana kiai dan santri ikut menggerakkan arek-arek Suroboyo. Mereka tidak sekadar mengaji, tapi juga mengangkat bambu runcing.
Sekarang musuh yang nyata bukan penjajah bersenjata. Musuh yang real adalah kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan teknologi. Di sini santri mestinya kembali maju ke garis depan. Kalau dulu santri ikut perang fisik, sekarang mereka dituntut ikut perang digital. Kalau dulu melawan penjajah, sekarang melawan hoaks, melawan radikalisme semu, melawan kebodohan ekonomi.
Bangga melihat branding pesantren hari ini. Banyak yang punya program “Santripreneur”. Ada koperasi digital, ada startup berbasis pesantren. Dulu santri hanya tahu jualan kitab dan minyak wangi di sekitar pondok. Sekarang mereka jualan online, ekspor ke luar negeri.
Tapi jangan salah. Esensi santri tetap terjaga melekat didalam dada. Yang membuat santri itu “santri” bukan karena sarung atau peci, bukan pula karena mereka pintar bisnis. Esensi santri ada pada kesederhanaan dan ketaatan pada ilmu. Ada pada sikap hormat pada guru. Ada pada akhlak yang halus. Kalau itu hilang, maka santri hanya jadi mahasiswa biasa, hanya jadi pebisnis pada umumnya.
Tahun 2025 menjadi refleksi. Bahwa bangsa ini menjadi saksi perjuangan santri. Bahwa masa depan bangsa ini sebagian ada di pundak mereka. Tapi juga sekaligus pengingat, jangan sampai santri terjebak pada romantisme masa lalu.
Santri masa depan adalah santri yang siap menghadapi dunia baru. Dunia digital, dunia global, dunia yang tanpa batas. Santri tetap dengan akhlaknya, namun juga mampu menguasai bahasa data, bahasa teknologi.
Kalau santri bisa menjaga keduanya iman dan inovasi, yakinlah, dari pesantren akan lahir pemimpin masa depan Indonesia.












