Kabar Nahdliyin Edisi Khusus | Ulasan Spiritual
DEMAK | KABARNAHDLIYIN.COM –
Di balik gemuruh kendaraan yang melintas di atas jembatan tua menuju Kadilangu, Demak, tersimpan kisah spiritual yang menggugah hati. Hafidz, dulunya seorang dokter spesialis THT lulusan Universitas Indonesia dan melanjutkan pendidikan di Singapura, kini menjalani kehidupan yang tak biasa. Setelah kehilangan ibu, istri, dan anak semata wayangnya dalam kecelakaan beruntun, Hafidz memilih meninggalkan segala gemerlap dunia. Ia kini hidup bersahaja di bawah kolong jembatan, tidak jauh dari kompleks makam Sunan Kalijaga. Senin (03/08/2025).
Kisahnya tidak sekadar cerita duka dan keterasingan, namun juga menjadi saksi perjalanan jiwa yang menuju keheningan Ilahi. Dalam pengakuannya kepada tim Kabar Nahdliyin, Hafidz mengatakan bahwa dalam keterpurukannya ia pernah bertemu dengan sosok lelaki tua misterius berpakaian sederhana dengan blangkon dan membawa mushaf Al-Qur’an. Sosok itu tak memperkenalkan nama, namun kata-katanya menancap dalam:
“Nak, hubunganmu dengan manusia bisa putus, tapi hubunganmu dengan Allah jangan pernah lepas. Carilah Dia, bukan karena kamu kehilangan dunia, tapi karena kamu sedang dipanggil pulang.”
Hafidz meyakini sosok tersebut adalah Sunan Kalijaga wali besar yang terkenal dengan dakwahnya yang merangkul budaya dan meresapi nilai-nilai keikhlasan. Sejak pertemuan itu, Hafidz memilih tinggal dekat dengan makam sang Wali dan hidup dalam laku spiritual yang dalam. Ia mendekatkan diri dengan zikir, tahajud, dan tadabbur ayat demi ayat Al-Qur’an yang kini menjadi sahabat setianya.
Spiritualitas dalam Duka: Tafsir Kehidupan
Hafidz menggambarkan kesedihan bukan sebagai hukuman, melainkan sebagai undangan dari Allah untuk kembali menata hidup dalam bingkai yang hakiki. Ia menukil ayat Al-Qur’an yang menjadi pegangan dalam hidupnya:
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
Dari ayat itu, Hafidz menyadari bahwa kehilangan adalah bagian dari proses penyucian jiwa. Ia juga menyebut hadist Rasulullah SAW yang berbunyi:
“Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Allah akan mengujinya.”
(HR. Bukhari)
Dalam keheningan jembatan Demak, Hafidz sering mengingat kisah para Nabi, terutama Nabi Ayyub AS, yang kehilangan segala hal dalam hidupnya namun tetap bersyukur dan taat. “Aku merasa Allah ingin menjadikanku paham bahwa cinta sejati hanya akan utuh jika ditujukan kepada-Nya,” ujar Hafidz lirih.
Melampaui Dunia, Menyentuh Makna
Meski hidup di kolong jembatan tanpa fasilitas mewah, Hafidz tak pernah meminta-minta. Banyak peziarah dan santri Kadilangu yang mulai mengenalnya sebagai sosok yang dalam zikirnya, tenang ucapnya, dan lembut wajahnya. Beberapa bahkan menyebutnya sebagai “dokter ruhani”, meskipun ia enggan dipanggil demikian.
Menurut KH. Ahmad Mudzakkir dari Ponpes Demak, Hafidz adalah contoh nyata dari orang yang ditarik Allah untuk ma’rifat. “Dalam dunia tasawuf, ini disebut ‘jadzbah’ ditarik tanpa dia minta. Kalau benar ia didatangi sosok seperti Sunan Kalijaga, itu bagian dari isyarat maqam spiritualnya naik,” ungkap kiai muda NU itu.
Pelajaran untuk Kita Semua
Kisah Hafidz mengajarkan bahwa ilmu duniawi setinggi apapun, tidak menjamin ketenangan jiwa jika tidak disertai dengan kedekatan kepada Allah. Dunia bisa lenyap seketika, tetapi yang tinggal adalah hubungan vertikal kita dengan Sang Khalik.
Sebagaimana firman Allah:
“Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
Kini, Hafidz menjadi pribadi yang mampu melihat dunia dalam kacamata akhirat. Dalam kolong jembatan sederhana itu, ia menemukan kedamaian yang tidak pernah ia temukan sebelumnya di ruang operasi atau di gedung pencakar langit Singapura.
“Kalau dulu aku menyembuhkan orang dengan obat, sekarang aku menyembuhkan diriku sendiri dengan dzikir dan ayat-ayat-Nya,” tuturnya menutup perbincangan. (Redaksi)












